Behind The Scene Novel Before Us
Sebelum novel ini terbit, rasanya ngebet banget pengin buru-buru
terbit. Tapi setelah terbit, saya malah jarang ngomong-ngomongin novel
ini, apalagi bagi-bagi cerita soal isi novelnya atau perjalanan dibalik
proses lahirnya Before Us. Ya, saya memang bukan Bapak yang baik, sampe
lupa sama anak sendiri. Jangan ditiru ya. Jadi untuk menebus rasa
bersalah yang kemarin-kemarin (halaahhh), maka saya buatkan note ini
deh.
Well... niatnya mau nulis cerita soal perjalanan Before Us ini yang
awalnya cuma cerpen, kemudian dikembangkan jadi novel, diikutkan dalam
kompetisi menulis, sampai akhirnya terbit di GagasMedia. Tapi karena
belum sempat nulisnya, jadi saya share Behind The Scene Novel Before Us
yang ada di blognya GagasMedia dulu deh. Behind the scene lengkapnya,
menyusul ya... Selamat menyimak :)
Dari mana ide dasar cerita untuk menuliskan Before Us ini?
Before Us awalnya sebuah cerpen berjudul ‘Radith’ yang saya
tulis dalam buku kumpulan cerpen. Waktu itu iseng-iseng saya menantang
diri saya dengan meminta teman-teman yang telah membaca cerita-cerita
dalam kumcer tersebut untuk memilih satu cerpen yang ingin diangkat ke
novel, dan cerpen ‘Radith’ yang mereka pilih. Kemudian pada pertengahan
tahun 2010 naskah ini saya ikutkan dalam kompetisi GagasMedia,
terpilih jadi finalis, dan akhirnya diterbitkan menjadi novel Before
Us.
Berapa lama waktu yang kamu perlukan untuk menulis Before Us?
Cukup panjang, mulai dari cari ide, membuat story line, dan
lain-lainnya Sekitar 4 bulan. Ditambah lagi proses revisi naskah, kalau
tidak salah nambah lagi sekitar 2 bulan sampai saya dan editor
betul-betul yakin kalau naskahnya sudah final.
Apakah ada hal-hal unik yang kamu temukan selama penulisan Before Us?
Membangun karakter tokoh-tokoh dalam novel ini. Seperti yang
kita tahu, menulis novel bukanlah perkara pekerjaan satu-dua jam. Tapi
berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Saya bangun,
makan, tidur, nonton, bahkan hang out dengan isi naskah ini dalam
kepala saya. Karena proses yang panjang itulah saya merasa mengenal
baik tokoh-tokoh dalam novel ini, mendengar mereka menceritakan keluh
kesahnya, melihat pergumulan mereka, juga mendengar mereka berdialog
satu sama lain.
Pernahkah kamu menemukan kesulitan selama penulisan Before Us ini?
Pernah. Menulis sesuatu yang tidak pernah saya
alami, saya dengar sebelumnya, dan saya rasakan adalah sesuatu yang
benar-benar baru dan menuntut pemahaman yang baik. Ini adalah pertama
kali saya menulis novel dewasa, terlebih background ceritanya adalah
kehidupan rumah tangga dengan isu cinta segitiga di dalamnya. Bagaimana
saya menceritakan hubungan dan ikatan emosional antara si suami dan
isteri serta intrik dan konflik dalam rumah tangga mereka, juga
hubungan yang terjalin antara si suami dengan orang ketiga dalam rumah
tangganya, dan banyak hal lainnya yang memaksa saya harus merenung dan
melihat ke dalam hidup tokoh-tokohnya. Kesulitan lainnya adalah teknik
menulis POV orang pertama dengan hanya satu pencerita tunggal dalam
novelnya, dimana Agil – sebagai tokoh utama – harus menceritakan apa
yang dia alami sekaligus menceritakan apa yang ada di sekeliling dia
lewat penglihatan dan pikirannya, termasuk perasaan dan emosi
tokoh-tokoh yang terlibat di dalam novel ini. Jujur, saya hampir putus
asa saat mengerjakan bagian ini, bahkan hampir mau ganti POV. Tapi
editor meyakinkan saya untuk terus melanjutkan menulis dengan POV yang
sama, mengajarkan saya bagaimana menuangkan isi kepala dan perasaan
Agil ke dalam bentuk tulisan, juga mereferensikan buku-buku bacaan.
Sampai akhirnya… karakter Agil ‘muncul’ dalam novel ini dan dia
berhasil menceritakan keseluruhan cerita dari awal sampai ending.
Tulis dong salah satu quote kesukaanmu dalam Before Us.
Ketika kesenangan berganti dengan kehilangan, kita
baru sadar kalau apa yang kita miliki terlalu berharga untuk ditukar
dengan apapun.
Adakah riset khusus untuk keperluan Before Us ini?
Nggak benar-benar nyiapin waktu untuk riset khusus sih. Tapi lebih
ke arah, kalau butuh informasi atau ada kesulitan, saya baru cari tahu.
Saya bukan tipe penulis yang so-well-planned, jadi sambil menulis
sambil mengumpulkan bahan dan informasi. Untuk plot dan konflik, saya
minta referensi film dan buku dari teman-teman. Untuk setting lokasi
dan deskripsi pantai-pantainya saya searching di google dan lihat
video-video di youtube sebagai gambaran. Hal yang sama juga saya lakukan
untuk pemetaan domisili Agil, orang tuanya, Kak Demas, Ranti dan
Radith. Supaya perhitungan waktu mobilisasi mereka bisa terlihat akurat.
Untuk membangun tokoh-tokoh dalam novel ini juga saya riset sesuai
kebutuhan. Saya menulis karakteristik fisik, temperamen, pekerjaan,
kebiasaan tokoh-tokohnya lebih dulu. Karena ini yang paling sulit, jadi
saya banyak dibantu teman-teman dan minta masukan dari editor.
Adakah tokoh yang kamu sukai di dalam Before Us ini?
Suka? Dari segi apa dulu? Setiap tokoh dalam novel ini punya sisi
baik dan buruk/ menyebalkan sekaligus. Saya suka Agil dari cara bicara
dan sikapnya yang sopan, tapi saat mengambil keputusan sama sekali
nggak bisa diandalkan. Saya suka Ranti karena perhatian dia terhadap
keluarga dan suami, tapi sayangnya Ranti sangat emosional. Radith yang
tipe manusia goal-oriented, tapi sekaligus impulsif. Atau Winnie yang
berusaha mempertahankan apa yang dia punya, tapi saat bertindak
seringkali tidak berpikir panjang lebih dulu.
Siapa inspirator terbesar sehingga kamu bisa melahirkan novel ini?
Mungkin bukan inspirator, tapi orang yang mempengaruhi cara menulis
saya dalam novel ini. Ketika proses penulisan Before Us, saya membaca
buku-buku Winna Efendi dan Sefryana Khairil berulang-ulang. Mungkin
itulah yang membuat Before Us lebih cenderung drama dan diisi
sisipan-sisipan quote dalam dialog dan monolognya.
Mengapa pada akhirnya novel ini diberi judul ‘Before Us’?
Judul Before Us diusulkan oleh editor saat kami sedang memilih-milih
alternatif judul untuk novel ini. Ada beberapa judul lain yang
sebenarnya terdengar lebih familiar. Tapi entah kenapa waktu saya
mengucapkan kata Before Us itu berkali-kali, saya merasa ada sebuah
makna yang tersembunyi dari kata tersebut. Sesuatu yang mengundang
pertanyaan kita untuk mencari tahu ‘what was happened in the past?’.
Ditambah lagi tag line novel yang diberikan redaksi membuat saya
langsung setuju tanpa tawar menawar. Yep, redaksi GagasMedia memang
paling jago merangkum isi novel ke dalam satu kalimat pendek. Jadilah
judul novel ini: BEFORE US – Cinta di Belakangmu.
Apa yang mewajibkan orang tidak boleh melewatkan Before Us?
Pertama, pesan moral soal komitmen dan kesetiaan. Saat kita sudah
mengatakan ‘ya’ terhadap sesuatu, seharusnya kita berusaha untuk tetap
di jalur tersebut dengan alasan apapun. Kedua, intrik dan konflik antar
tokoh dalam novelnya, dimana setiap tokoh berusaha untuk
memperjuangkan cinta yang mereka miliki meskipun pada akhirnya saling
melukai perasaan masing-masing.
Kalau dari sisi penulisnya, kesetiaan itu harus diwujudkan dengan cara yang seperti apa?
Kesetiaan = stand firm on your commitment.
Bagaimana kamu mendefinisikan cinta itu? Apakah di dalam Before Us bisa ditemukan jawabannya?
Cinta itu ketika kita nyaman berada di rumah sendiri meskipun rumput
rumah tetangga lebih hijau, hehehehe. Sederhananya begini, saat kita
merasa tidak kekurangan apapun, nyaman, dan lengkap bersama orang
tersebut, itu lah cinta. Nggak peduli di luar sana banyak yang
lebih-lebih dan lebih dalam banyak hal lainnya. Apakah di dalam Before
Us ditemukan jawabannya? Pasti.
Maukah kamu berbagi tips bagaimana membuat novel dengan ending yang mengejutkan?
Wah, kalau tips, rasanya belum jago dalam menulis novel. Tapi
mungkin saya akan sharing soal apa yang saya lakukan dengan novel
Before Us ini atau tulisan-tulisan yang pernah saya buat. Sebelum mulai
menulis, biasanya saya memikirkan dulu ‘sesuatu’ yang ingin saya
berikan kepada pembaca. Mungkin story line-nya, quote-nya, cara
bertuturnya, atau setting-nya, dan lain-lain. Setelah novel ditulis pun
saya nggak langsung kirim ke penerbit. Biasanya saya akan minta
teman-teman saya untuk baca dan nimbrungin naskahnya lebih dulu. Dari
situ akan muncul komentar dan ide-ide lain yang kemudian bisa dikurangi
atau ditambahkan ke novelnya. Atau kadang, saya mendiamkan dulu naskah
yang sudah selesai tersebut selama beberapa hari, lalu saya baca ulang
dengan ekspektasi yang besar (seolah-olah saya adalah pembaca, bukan
penulisnya), setelah itu biasanya muncul catatan-catatan seperti;
jenuh, kecewa dengan endingnya, gregetan dan lain-lain tentang naskah
saya sendiri. Catatan itu yang kemudian saya pakai untuk mengedit ulang
naskahnya.
BEFORE US sudah beredar di semua toko buku di Indonesia. Buat
teman-teman yang belum baca, wahh... jangan tunggu lama-lama dong.
Langsung dicari dan diburu ya. Selamat membaca :D
1 komentar
is very good
BalasHapus