Behind The Scene Novel Before Us

By Robin Wijaya - Maret 13, 2012

Sebelum novel ini terbit, rasanya ngebet banget pengin buru-buru terbit. Tapi setelah terbit, saya malah jarang ngomong-ngomongin novel ini, apalagi bagi-bagi cerita soal isi novelnya atau perjalanan dibalik proses lahirnya Before Us. Ya, saya memang bukan Bapak yang baik, sampe lupa sama anak sendiri. Jangan ditiru ya. Jadi untuk menebus rasa bersalah yang kemarin-kemarin (halaahhh), maka saya buatkan note ini deh.


Well... niatnya mau nulis cerita soal perjalanan Before Us ini yang awalnya cuma cerpen, kemudian dikembangkan jadi novel, diikutkan dalam kompetisi menulis, sampai akhirnya terbit di GagasMedia. Tapi karena belum sempat nulisnya, jadi saya share Behind The Scene Novel Before Us yang ada di blognya GagasMedia dulu deh. Behind the scene lengkapnya, menyusul ya... Selamat menyimak :)



Dari mana ide dasar cerita untuk menuliskan Before Us ini?
Before Us awalnya sebuah cerpen berjudul ‘Radith’ yang saya tulis dalam buku kumpulan cerpen. Waktu itu iseng-iseng saya menantang diri saya dengan meminta teman-teman yang telah membaca cerita-cerita dalam kumcer tersebut untuk memilih satu cerpen yang ingin diangkat ke novel, dan cerpen ‘Radith’ yang mereka pilih. Kemudian pada pertengahan tahun 2010 naskah ini saya ikutkan dalam kompetisi GagasMedia, terpilih jadi finalis, dan akhirnya diterbitkan menjadi novel Before Us.


Berapa lama waktu yang kamu perlukan untuk menulis Before Us?
Cukup panjang, mulai dari cari ide, membuat story line, dan lain-lainnya Sekitar 4 bulan. Ditambah lagi proses revisi naskah, kalau tidak salah nambah lagi sekitar 2 bulan sampai saya dan editor betul-betul yakin kalau naskahnya sudah final.


Apakah ada hal-hal unik yang kamu temukan selama penulisan Before Us?
Membangun karakter tokoh-tokoh dalam novel ini. Seperti yang kita tahu, menulis novel bukanlah perkara pekerjaan satu-dua jam. Tapi berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Saya bangun, makan, tidur, nonton, bahkan hang out dengan isi naskah ini dalam kepala saya. Karena proses yang panjang itulah saya merasa mengenal baik tokoh-tokoh dalam novel ini, mendengar mereka menceritakan keluh kesahnya, melihat pergumulan mereka, juga mendengar mereka berdialog satu sama lain.


Pernahkah kamu menemukan kesulitan selama penulisan Before Us ini?
Pernah. Menulis sesuatu yang tidak pernah saya alami, saya dengar sebelumnya, dan saya rasakan adalah sesuatu yang benar-benar baru dan menuntut pemahaman yang baik. Ini adalah pertama kali saya menulis novel dewasa, terlebih background ceritanya adalah kehidupan rumah tangga dengan isu cinta segitiga di dalamnya. Bagaimana saya menceritakan hubungan dan ikatan emosional antara si suami dan isteri serta intrik dan konflik dalam rumah tangga mereka, juga hubungan yang terjalin antara si suami dengan orang ketiga dalam rumah tangganya, dan banyak hal lainnya yang memaksa saya harus merenung dan melihat ke dalam hidup tokoh-tokohnya. Kesulitan lainnya adalah teknik menulis POV orang pertama dengan hanya satu pencerita tunggal dalam novelnya, dimana Agil – sebagai tokoh utama – harus menceritakan apa yang dia alami sekaligus menceritakan apa yang ada di sekeliling dia lewat penglihatan dan pikirannya, termasuk perasaan dan emosi tokoh-tokoh yang terlibat di dalam novel ini. Jujur, saya hampir putus asa saat mengerjakan bagian ini, bahkan hampir mau ganti POV. Tapi editor meyakinkan saya untuk terus melanjutkan menulis dengan POV yang sama, mengajarkan saya bagaimana menuangkan isi kepala dan perasaan Agil ke dalam bentuk tulisan, juga mereferensikan buku-buku bacaan. Sampai akhirnya… karakter Agil ‘muncul’ dalam novel ini  dan dia berhasil menceritakan keseluruhan cerita dari awal sampai ending.


Tulis dong salah satu quote kesukaanmu dalam Before Us.
Ketika kesenangan berganti dengan kehilangan, kita baru sadar kalau apa yang kita miliki terlalu berharga untuk ditukar dengan apapun.

Adakah riset khusus untuk keperluan Before Us ini?
Nggak benar-benar nyiapin waktu untuk riset khusus sih. Tapi lebih ke arah, kalau butuh informasi atau ada kesulitan, saya baru cari tahu. Saya bukan tipe penulis yang so-well-planned, jadi sambil menulis sambil mengumpulkan bahan dan informasi. Untuk plot dan konflik, saya minta referensi film dan buku dari teman-teman. Untuk setting lokasi dan deskripsi pantai-pantainya saya searching di google dan lihat video-video di youtube sebagai gambaran. Hal yang sama juga saya lakukan untuk pemetaan domisili Agil, orang tuanya, Kak Demas, Ranti dan Radith. Supaya perhitungan waktu mobilisasi mereka bisa terlihat akurat. Untuk membangun tokoh-tokoh dalam novel ini juga saya riset sesuai kebutuhan. Saya menulis karakteristik fisik, temperamen, pekerjaan, kebiasaan tokoh-tokohnya lebih dulu. Karena ini yang paling sulit, jadi saya banyak dibantu teman-teman dan minta masukan dari editor.

Adakah tokoh yang kamu sukai di dalam Before Us ini?
Suka? Dari segi apa dulu? Setiap tokoh dalam novel ini punya sisi baik dan buruk/ menyebalkan sekaligus. Saya suka Agil dari cara bicara dan sikapnya yang sopan, tapi saat mengambil keputusan sama sekali nggak bisa diandalkan. Saya suka Ranti karena perhatian dia terhadap keluarga dan suami, tapi sayangnya Ranti sangat emosional. Radith yang tipe manusia goal-oriented, tapi sekaligus impulsif. Atau Winnie yang berusaha mempertahankan apa yang dia punya, tapi saat bertindak seringkali tidak berpikir panjang lebih dulu.

Siapa inspirator terbesar sehingga kamu bisa melahirkan novel ini?
Mungkin bukan inspirator, tapi orang yang mempengaruhi cara menulis saya dalam novel ini. Ketika proses penulisan Before Us, saya membaca buku-buku Winna Efendi dan Sefryana Khairil berulang-ulang. Mungkin itulah yang membuat Before Us lebih cenderung drama dan diisi sisipan-sisipan quote dalam dialog dan monolognya.

Mengapa pada akhirnya novel ini diberi judul ‘Before Us’?
Judul Before Us diusulkan oleh editor saat kami sedang memilih-milih alternatif judul untuk novel ini. Ada beberapa judul lain yang sebenarnya terdengar lebih familiar. Tapi entah kenapa waktu saya mengucapkan kata Before Us itu berkali-kali, saya merasa ada sebuah makna yang tersembunyi dari kata tersebut. Sesuatu yang mengundang pertanyaan kita untuk mencari tahu ‘what was happened in the past?’. Ditambah lagi tag line novel yang diberikan redaksi membuat saya langsung setuju tanpa tawar menawar. Yep, redaksi GagasMedia memang paling jago merangkum isi novel ke dalam satu kalimat pendek. Jadilah judul novel ini: BEFORE US – Cinta di Belakangmu.

Apa yang mewajibkan orang tidak boleh melewatkan Before Us?
Pertama, pesan moral soal komitmen dan kesetiaan. Saat kita sudah mengatakan ‘ya’ terhadap sesuatu, seharusnya kita berusaha untuk tetap di jalur tersebut dengan alasan apapun. Kedua, intrik dan konflik antar tokoh dalam novelnya, dimana setiap tokoh berusaha untuk memperjuangkan cinta yang mereka miliki meskipun pada akhirnya saling melukai perasaan masing-masing.

Kalau dari sisi penulisnya, kesetiaan itu harus diwujudkan dengan cara yang seperti apa?
Kesetiaan = stand firm on your commitment.

Bagaimana kamu mendefinisikan cinta itu? Apakah di dalam Before Us bisa ditemukan jawabannya?
Cinta itu ketika kita nyaman berada di rumah sendiri meskipun rumput rumah tetangga lebih hijau, hehehehe. Sederhananya begini, saat kita merasa tidak kekurangan apapun, nyaman, dan lengkap bersama orang tersebut, itu lah cinta. Nggak peduli di luar sana banyak yang lebih-lebih dan lebih dalam banyak hal lainnya. Apakah di dalam Before Us ditemukan jawabannya? Pasti.

Maukah kamu berbagi tips bagaimana membuat novel dengan ending yang mengejutkan?
Wah, kalau tips, rasanya belum jago dalam menulis novel. Tapi mungkin saya akan sharing soal apa yang saya lakukan dengan novel Before Us ini atau tulisan-tulisan yang pernah saya buat. Sebelum mulai menulis, biasanya saya memikirkan dulu ‘sesuatu’ yang ingin saya berikan kepada pembaca. Mungkin story line-nya, quote-nya, cara bertuturnya, atau setting-nya, dan lain-lain. Setelah novel ditulis pun saya nggak langsung kirim ke penerbit. Biasanya saya akan minta teman-teman saya untuk baca dan nimbrungin naskahnya lebih dulu. Dari situ akan muncul komentar dan ide-ide lain yang kemudian bisa dikurangi atau ditambahkan ke novelnya. Atau kadang, saya mendiamkan dulu naskah yang sudah selesai tersebut selama beberapa hari, lalu saya baca ulang dengan ekspektasi yang besar (seolah-olah saya adalah pembaca, bukan penulisnya), setelah itu biasanya muncul catatan-catatan seperti; jenuh, kecewa dengan endingnya, gregetan dan lain-lain tentang naskah saya sendiri. Catatan itu yang kemudian saya pakai untuk mengedit ulang naskahnya.


BEFORE US sudah beredar di semua toko buku di Indonesia. Buat teman-teman yang belum baca, wahh... jangan tunggu lama-lama dong. Langsung dicari dan diburu ya. Selamat membaca :D


  • Share:

You Might Also Like

1 komentar