Dulu. Sebelum saya menulis novel seperti sekarang
ini. Saya adalah seorang penulis segala rupa. Saya menulis berbagai macam genre
dan tulisan. Fiksi dan non-fiksi. Roman, horror, komedi, artikel, cerita anak,
dan sebagainya. Tujuannya cuma satu, mencari aktualisasi, mencari kesempatan
untuk ‘dilihat’ sebagai penulis. Jalurnya pun lewat event-event menulis yang
bertebaran di berbagai tempat. Sampai satu-dua tahun setelahnya saya berhasil
menerbitkan novel pertama saya, dan belajar lebih banyak tentang menulis lewat
jalan penerbitan tersebut. Satu, dua, tiga tahun, buku-buku baru saya lahir. Dan
dari sana, kemudian muncul label genre pada tulisan-tulisan saya dikarenakan
jumlahnya yang sudah tidak satu-dua lagi. Ujung-ujungnya, saya disebut sebagai
penulis roman oleh pembaca dan orang-orang di sekitar saya.
Untuk mengiyakan label penulis roman
seperti sekarang ini, saya melalui berbagai proses dan pertanyaan yang
seringnya saya ajukan kepada diri saya sendiri. Bukan tiba-tiba menyebut diri
seperti itu, atau juga mengiyakan sebutan itu.
Saya ingat, beberapa waktu lalu,
seorang teman di facebook mengirim pesan pribadi ke inbox. Dikatakannya agar
saya tidak terpaku pada satu genre saja, agar saya bisa menulis apa saja. Saya berterima
kasih, karena ia berkata jujur dan menyampaikan isi hatinya kepada saya (tolong
bacanya jangan berpikir kalau dia nembak saya). Jarang loh orang mau bicara jujur
seperti itu. Sekarang ini, kalau ada apa-apa, kita akan lebih senang menulis
lewat status facebook atau cuitan twitter kan? Dalam hati berharap, yang
disindir baca status kita. Padahal, orangnya lagi makan pecel lele sama
temen-temennya. Ketawa ngakak, pulang ke rumah nonton D’Academy, terus bobok
malem. Nggak sempat lagi ngecek beranda sama timeline.
Saya yakin, masalah genre adalah
pilihan. Dan banyak orang memiliki pandangan yang berbeda dalam menentukan yang
satu ini. Ada yang setuju kalau menulis segala macam jauh lebih baik ketimbang
menulis satu macam saja. Itu semua kembali pada pilihan masing-masing. Tapi seperti
yang saya sebutkan tadi bahwa menjadi penulis roman bukan proses sehari-dua
hari. Saya pun mempertanyakan pertanyaan yang sama kepada editor dan mentor
saya dulu. Mentor saya menjawab dengan sederhana, kalau kamu mau cari lagu dari
penyanyi perempuan yang mellow-mellow, kamu cari siapa? Saya bilang, Rossa. Kalau
mau cari yang ngerock? Yang ngejazz? Yang musiknya swing? Dari sana saya
mengerti bahwa menulis pun perlu spesifikasi. Untuk apa? Agar kita menjadi
ahli.
Cepat saya mengaitkan dengan
Multiple Intelligence nya Bapak Gardner. Sejatinya manusia memiliki keahlian
mereka masing-masing. Itulah kenapa Gardner menganjurkan pengajaran dan test yang
spesifik untuk setiap anak sesuai dengan intelligence-nya. Karena ikan tak bisa
dikatakan bodoh jika ia tak bisa terbang. Kuda pun tak bisa dibilang bodoh,
jika tak pandai menyelam di laut dalam. Saya rasa, penulis pun demikian. Untuk mempertajam
kemampuan menulismu, kamu tidak bisa menulis semuanya, karena nanti akan
menjadi penulis rata-rata.
Tapi akal-akalan saya tentang
teorinya Pak Gardner itu belum cukup membuat saya puas. Saya pun ngeyel dan
mencoba-coba menulis yang lain. Saya mulai dari hal sederhana, menulis cerpen. Saya
selalu iri dengan thriller ala Brahmanto Anindito, prosa cerdasnya Dewi
Lestari, tulisan nyastranya Mas Andrea, atau metropopnya Mbak Ika Natassa. Lalu
saya coba-coba menulis genre yang berbeda. Hasilnya gagal. Draft-draft itu cuma
mandek di dalam laptop sana. Luar biasanya lagi, saya merasa nggak nyaman
selama menulis. Merasa menjadi orang lain. Ujung-ujungnya, tulisan saya balik
lagi jadi Robin Wijaya yang mellow-mellow gimana gitu, yang kalo nulis mesti
ada nyempil puitis-puitisnya. Halaahhh… ternyata, itu toh saya. Saya mulai ngerti
apa yang dikatakan editor saya itu dulu.
Ketiga, sewaktu saya ikut kelas
menulis dengan A.S. Laksana. Kepala saya dibukakan dengan dua prinsip berbeda
antara belajar menulis dengan banyak cara dan menulis banyak gaya. Mungkin yang
dulu saya pengin itu bukan menulis dengan banyak cara, tapi banyak gaya. Nyoba genre
ini-itu dengan dalih belajar biar ngerti semuanya ternyata nggak selalu tepat
guna. Mas Sulak—begitu A.S. Laksana dipanggil di kelas, menyodorkan cara
bahwa membaca banyak buku dan mengetahui bagaimana formula menulis dari
berbagai genre itu bisa diadopsi untuk memperkaya tulisan kita, bukan mengubah
tulisan kita. Karena sejatinya penulis punya jati diri. Itu yang harus dicari
dan dibentuk. Saya manggut-manggut paham. Lagi-lagi, sewaktu praktik di kelas,
tulisan saya mau dicampur dengan gaya apapun akan lari ke situ-situ juga. Mungkin
kalau diibaratkan daging bebek. Digoreng kremes, dibakar, disambal ijo, dibikin
rica-rica pun, tetap disebutnya bebek. Tak bisa berubah jadi burung dara.
Ujung-ujungnya, sebagai penulis,
sampai lah kita pada satu titik dimana kita ingin karir menulis kita dikenal
sebagai siapa. Dalam satu kelas Personal Branding yang dibawakan Raditya Dika,
disebutkan bahwa ia menulis untuk dua hal. Pertama, untuk menjawab kegelisahan
(khusus yang ini, saya nggak bahas di sini. Saya agak-agak lupa maksudnya doi
itu gimana. Mesti buka buku catatan dulu). Dan yang kedua adalah untuk karir
panjang kita dalam menulis. Merk-merk dagang yang sudah bertahan berpuluh-puluh
tahun lamanya bukan hanya menjaga dan mengembangkan kualitas mereka di mata
pelanggan, tapi juga mempertahankan apa yang menjadi image dari produk mereka
tersebut. Sebut saja beberapa merk terkenal, dan analisa sendiri apa yang
dimaksud Dika dengan hal itu. Dari sana saya paham, bahwa ini bukan soal apa
yang harus saya tulis tapi bagaimana orang mengenal Robin Wijaya sebagai brand.
Hal-hal itulah yang kemudian
membuat saya memutuskan untuk menerima label penulis roman itu. Saya ingin Robin
Wijaya ini mudah dikenali dan dicari orang. Sebagai siapa? Ya, sebagai apa yang
dikenal pembaca mengenai saya. Oleh karena itu, saya tetap menuliskan apa-apa
yang menjadi ciri khas menulis saya itu, termasuk genre. Dan untuk
menunjangnya, semua media sosial saya pun diseragamkan. Ya kontennya,
profilnya, dll.
Apa nanti orang nggak bosan? Kalau
mereka bosan, ya silakan cari selingan di luar. Kita pun makan gitu toh. Tiap hari
makan ayam goreng ya pasti bosan. Sekali-kali pengin coba pizza, pecel lele,
burger, nasi goreng. Tapi sekali-kali, pasti kita kangen makan ayam goreng
juga. Dan waktu lagi kangen-kangennya, penginnya bisa ketemu toh? Maksud saya,
pembaca juga gitu. Kalau saya lagi bosan baca buku komedinya Raditya Dika, ya saya
baca yang lain. Tapi akan sangat sedih ketika saya lagi kangen komedinya
Raditya Dika, dan malah menemukan doi sudah pindah nulis novel horror. Kembalikan
Raditya Dika-ku!!! Kembalikan!!!
Pada akhirnya, tulisan seperti apa
yang akan terus ditulis oleh Robin Wijaya? Saya tidak menampik bahwa saya pun
ingin menulis tulisan yang sama sekali berbeda. By the way, sudah saya lakukan
dengan novel VERSUS saya yang kata orang ‘meennnn… lo manly banget di sini!’.
To be honest, hati kecil saya merindu. Saya pengin nulis buku dongeng, buku
pelajaran dan kisah keluarga. Mungkin ini yang disebut Raditya Dika, menulis
untuk menjawab kegelisahan. Tapi kemungkinan besar saya tidak akan menulis di
luar genre saya sekarang. Kenapa? Pertama, cewek-cewek sudah terlanjur tahu
kalau kokoh Robin ini penulis romantis. Kedua, saya masih suka senyum-senyum
tiap membayangkan dua orang yang jatuh cinta. Ketiga, saya gampang baper. Keempat,
saya suka mojok sambil galau waktu nulis novel roman dan puisi-puisi cinta saya
di blog. Jadi, sampai dua-tiga tahun ke depan, sepertinya Robin Wijaya masih
akan tetap begini adanya.
Kalaupun kesempatan datang dan
saya mulai gelisah untuk menulis genre lain (semisal setelah melewati
pengalaman seram di villa angker), mungkin saya akan menuliskannya. Tapi sepertinya
tidak akan lewat Robin Wijaya, melainkan lewat yang lain. Karena branding itu
penting, dan saya ingin karir menulis saya ini panjang seperti penulis-penulis
Indonesia dan penulis dunia yang saya kenal dan kagumi.
Akhir kata, semua kembali pada
pilihan dan apa yang kita percaya. Bisa saja, yang saya percaya ini juga salah.
Namanya manusia. Toh ada banyak penulis di luar sana yang juga berhasil sebagai
penulis multigenre, dan bisa jadi teman-teman kenal salah satu di antara
mereka. Yang penting saya mah nulis aja lah, karena emang suka nulis. Dan… suka
juga bikin baper. Sekian dan Terima Kangen.
1 komentar
Diskon Daybed Rotan Sintetik
BalasHapusDiskon Daybed Rotan Sintetik
Diskon Daybed Rotan Sintetik
Diskon Daybed Rotan Sintetik
Diskon Daybed Rotan Sintetis
Diskon Daybed Rotan Sintetis
Diskon Daybed Rotan Sintetis
Diskon Daybed Rotan Sintetis
Diskon Dipan Rattan
Diskon Dipan Rattan
Diskon Dipan Rattan
Diskon Dipan Rattan
Diskon Dipan Rattan Synthetic
Diskon Dipan Rattan Synthetic
Diskon Dipan Rattan Synthetic
Diskon Dipan Rattan Synthetic
Diskon Dipan Rotan
Diskon Dipan Rotan
Diskon Dipan Rotan
Diskon Dipan Rotan
Diskon Dipan Rotan Alami
Diskon Dipan Rotan Alami
Diskon Dipan Rotan Alami
Diskon Dipan Rotan Alami
Diskon Dipan Rotan Natural
Diskon Dipan Rotan Natural
Diskon Dipan Rotan Natural
Diskon Dipan Rotan Natural
Diskon Dipan Rotan Sintetik
Diskon Dipan Rotan Sintetik
Diskon Dipan Rotan Sintetik
Diskon Dipan Rotan Sintetik