Menulis Genre Saya, Branding Tulisan Saya

By Robin Wijaya - Maret 09, 2016



Dulu. Sebelum saya menulis novel seperti sekarang ini. Saya adalah seorang penulis segala rupa. Saya menulis berbagai macam genre dan tulisan. Fiksi dan non-fiksi. Roman, horror, komedi, artikel, cerita anak, dan sebagainya. Tujuannya cuma satu, mencari aktualisasi, mencari kesempatan untuk ‘dilihat’ sebagai penulis. Jalurnya pun lewat event-event menulis yang bertebaran di berbagai tempat. Sampai satu-dua tahun setelahnya saya berhasil menerbitkan novel pertama saya, dan belajar lebih banyak tentang menulis lewat jalan penerbitan tersebut. Satu, dua, tiga tahun, buku-buku baru saya lahir. Dan dari sana, kemudian muncul label genre pada tulisan-tulisan saya dikarenakan jumlahnya yang sudah tidak satu-dua lagi. Ujung-ujungnya, saya disebut sebagai penulis roman oleh pembaca dan orang-orang di sekitar saya.
Untuk mengiyakan label penulis roman seperti sekarang ini, saya melalui berbagai proses dan pertanyaan yang seringnya saya ajukan kepada diri saya sendiri. Bukan tiba-tiba menyebut diri seperti itu, atau juga mengiyakan sebutan itu.
Saya ingat, beberapa waktu lalu, seorang teman di facebook mengirim pesan pribadi ke inbox. Dikatakannya agar saya tidak terpaku pada satu genre saja, agar saya bisa menulis apa saja. Saya berterima kasih, karena ia berkata jujur dan menyampaikan isi hatinya kepada saya (tolong bacanya jangan berpikir kalau dia nembak saya). Jarang loh orang mau bicara jujur seperti itu. Sekarang ini, kalau ada apa-apa, kita akan lebih senang menulis lewat status facebook atau cuitan twitter kan? Dalam hati berharap, yang disindir baca status kita. Padahal, orangnya lagi makan pecel lele sama temen-temennya. Ketawa ngakak, pulang ke rumah nonton D’Academy, terus bobok malem. Nggak sempat lagi ngecek beranda sama timeline.
Saya yakin, masalah genre adalah pilihan. Dan banyak orang memiliki pandangan yang berbeda dalam menentukan yang satu ini. Ada yang setuju kalau menulis segala macam jauh lebih baik ketimbang menulis satu macam saja. Itu semua kembali pada pilihan masing-masing. Tapi seperti yang saya sebutkan tadi bahwa menjadi penulis roman bukan proses sehari-dua hari. Saya pun mempertanyakan pertanyaan yang sama kepada editor dan mentor saya dulu. Mentor saya menjawab dengan sederhana, kalau kamu mau cari lagu dari penyanyi perempuan yang mellow-mellow, kamu cari siapa? Saya bilang, Rossa. Kalau mau cari yang ngerock? Yang ngejazz? Yang musiknya swing? Dari sana saya mengerti bahwa menulis pun perlu spesifikasi. Untuk apa? Agar kita menjadi ahli.
Cepat saya mengaitkan dengan Multiple Intelligence nya Bapak Gardner. Sejatinya manusia memiliki keahlian mereka masing-masing. Itulah kenapa Gardner menganjurkan pengajaran dan test yang spesifik untuk setiap anak sesuai dengan intelligence-nya. Karena ikan tak bisa dikatakan bodoh jika ia tak bisa terbang. Kuda pun tak bisa dibilang bodoh, jika tak pandai menyelam di laut dalam. Saya rasa, penulis pun demikian. Untuk mempertajam kemampuan menulismu, kamu tidak bisa menulis semuanya, karena nanti akan menjadi penulis rata-rata.
Tapi akal-akalan saya tentang teorinya Pak Gardner itu belum cukup membuat saya puas. Saya pun ngeyel dan mencoba-coba menulis yang lain. Saya mulai dari hal sederhana, menulis cerpen. Saya selalu iri dengan thriller ala Brahmanto Anindito, prosa cerdasnya Dewi Lestari, tulisan nyastranya Mas Andrea, atau metropopnya Mbak Ika Natassa. Lalu saya coba-coba menulis genre yang berbeda. Hasilnya gagal. Draft-draft itu cuma mandek di dalam laptop sana. Luar biasanya lagi, saya merasa nggak nyaman selama menulis. Merasa menjadi orang lain. Ujung-ujungnya, tulisan saya balik lagi jadi Robin Wijaya yang mellow-mellow gimana gitu, yang kalo nulis mesti ada nyempil puitis-puitisnya. Halaahhh… ternyata, itu toh saya. Saya mulai ngerti apa yang dikatakan editor saya itu dulu.
Ketiga, sewaktu saya ikut kelas menulis dengan A.S. Laksana. Kepala saya dibukakan dengan dua prinsip berbeda antara belajar menulis dengan banyak cara dan menulis banyak gaya. Mungkin yang dulu saya pengin itu bukan menulis dengan banyak cara, tapi banyak gaya. Nyoba genre ini-itu dengan dalih belajar biar ngerti semuanya ternyata nggak selalu tepat guna. Mas Sulak—begitu A.S. Laksana dipanggil di kelas, menyodorkan cara bahwa membaca banyak buku dan mengetahui bagaimana formula menulis dari berbagai genre itu bisa diadopsi untuk memperkaya tulisan kita, bukan mengubah tulisan kita. Karena sejatinya penulis punya jati diri. Itu yang harus dicari dan dibentuk. Saya manggut-manggut paham. Lagi-lagi, sewaktu praktik di kelas, tulisan saya mau dicampur dengan gaya apapun akan lari ke situ-situ juga. Mungkin kalau diibaratkan daging bebek. Digoreng kremes, dibakar, disambal ijo, dibikin rica-rica pun, tetap disebutnya bebek. Tak bisa berubah jadi burung dara.
Ujung-ujungnya, sebagai penulis, sampai lah kita pada satu titik dimana kita ingin karir menulis kita dikenal sebagai siapa. Dalam satu kelas Personal Branding yang dibawakan Raditya Dika, disebutkan bahwa ia menulis untuk dua hal. Pertama, untuk menjawab kegelisahan (khusus yang ini, saya nggak bahas di sini. Saya agak-agak lupa maksudnya doi itu gimana. Mesti buka buku catatan dulu). Dan yang kedua adalah untuk karir panjang kita dalam menulis. Merk-merk dagang yang sudah bertahan berpuluh-puluh tahun lamanya bukan hanya menjaga dan mengembangkan kualitas mereka di mata pelanggan, tapi juga mempertahankan apa yang menjadi image dari produk mereka tersebut. Sebut saja beberapa merk terkenal, dan analisa sendiri apa yang dimaksud Dika dengan hal itu. Dari sana saya paham, bahwa ini bukan soal apa yang harus saya tulis tapi bagaimana orang mengenal Robin Wijaya sebagai brand.
Hal-hal itulah yang kemudian membuat saya memutuskan untuk menerima label penulis roman itu. Saya ingin Robin Wijaya ini mudah dikenali dan dicari orang. Sebagai siapa? Ya, sebagai apa yang dikenal pembaca mengenai saya. Oleh karena itu, saya tetap menuliskan apa-apa yang menjadi ciri khas menulis saya itu, termasuk genre. Dan untuk menunjangnya, semua media sosial saya pun diseragamkan. Ya kontennya, profilnya, dll.
Apa nanti orang nggak bosan? Kalau mereka bosan, ya silakan cari selingan di luar. Kita pun makan gitu toh. Tiap hari makan ayam goreng ya pasti bosan. Sekali-kali pengin coba pizza, pecel lele, burger, nasi goreng. Tapi sekali-kali, pasti kita kangen makan ayam goreng juga. Dan waktu lagi kangen-kangennya, penginnya bisa ketemu toh? Maksud saya, pembaca juga gitu. Kalau saya lagi bosan baca buku komedinya Raditya Dika, ya saya baca yang lain. Tapi akan sangat sedih ketika saya lagi kangen komedinya Raditya Dika, dan malah menemukan doi sudah pindah nulis novel horror. Kembalikan Raditya Dika-ku!!! Kembalikan!!!
Pada akhirnya, tulisan seperti apa yang akan terus ditulis oleh Robin Wijaya? Saya tidak menampik bahwa saya pun ingin menulis tulisan yang sama sekali berbeda. By the way, sudah saya lakukan dengan novel VERSUS saya yang kata orang ‘meennnn… lo manly banget di sini!’. To be honest, hati kecil saya merindu. Saya pengin nulis buku dongeng, buku pelajaran dan kisah keluarga. Mungkin ini yang disebut Raditya Dika, menulis untuk menjawab kegelisahan. Tapi kemungkinan besar saya tidak akan menulis di luar genre saya sekarang. Kenapa? Pertama, cewek-cewek sudah terlanjur tahu kalau kokoh Robin ini penulis romantis. Kedua, saya masih suka senyum-senyum tiap membayangkan dua orang yang jatuh cinta. Ketiga, saya gampang baper. Keempat, saya suka mojok sambil galau waktu nulis novel roman dan puisi-puisi cinta saya di blog. Jadi, sampai dua-tiga tahun ke depan, sepertinya Robin Wijaya masih akan tetap begini adanya.
Kalaupun kesempatan datang dan saya mulai gelisah untuk menulis genre lain (semisal setelah melewati pengalaman seram di villa angker), mungkin saya akan menuliskannya. Tapi sepertinya tidak akan lewat Robin Wijaya, melainkan lewat yang lain. Karena branding itu penting, dan saya ingin karir menulis saya ini panjang seperti penulis-penulis Indonesia dan penulis dunia yang saya kenal dan kagumi.
Akhir kata, semua kembali pada pilihan dan apa yang kita percaya. Bisa saja, yang saya percaya ini juga salah. Namanya manusia. Toh ada banyak penulis di luar sana yang juga berhasil sebagai penulis multigenre, dan bisa jadi teman-teman kenal salah satu di antara mereka. Yang penting saya mah nulis aja lah, karena emang suka nulis. Dan… suka juga bikin baper. Sekian dan Terima Kangen.

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar