Tulisan ini diambil dari cerpen Cinta dan Rahasia yang saya tulis dalam buku Glenn Fredly 20. Semoga pada akhirnya, bahagia adalah kata terakhir yang akan cinta berikan kepada kita.
Rasanya
aku jatuh cinta lagi.
Undanganmu hanya sebuah pesan singkat
yang terkirim lewat layanan chatting
gratis. Halamannya bersih tanpa pernak-pernik. Hanya ada latar berwarna lembut
dengan barisan tulisan font default
warna hitam.
Sederhana. Apa adanya.
Tapi entah kenapa, rasanya seperti
mendapat surat cinta paling indah. Yang baunya harum dan tulisannya berukir
serta diselipi setangkai mawar merah.
Aku cuma mau ketemu berdua. Duduk yang
lama. Mandangin hujan yang lama. Aku
sedang butuh waktu untuk menyepi. Kamu mau kan nemenin?
Kau tak perlu bertanya sebetulnya. Kau
sudah tahu jawabannya. Aku akan mengiyakan permintaanmu. Apapun itu.
Belum apa-apa, sudah kubayangkan
indahnya pergi berdua. Tak ada kebersamaan lain yang sepadan. Tak perlu hal-hal
lain menjadi pelengkap. Makanan enak, musik yang bagus, kamar yang nyaman. Kita
tidak membicarakan kualitas dari luar, tapi dari dalam.
Dan kau mulai bercerita banyak hal di
pertemuan kita. Aku suka. Selain raut wajah yang kukagumi. Kehangatan setiap
kata yang kau pilih adalah jerat yang tak mungkin lolos kulalui. Waktu seperti
bocor ketika berada di sebelahmu. Hingga kau pilihkan topik itu.
“Salah ya, berharap terlalu banyak dari
orang yang kita cintai?” tanyamu. Aku mulai gundah.
“Nggak. Tapi yang pasti, kalau berharap,
harus siap kecewa juga.”
Kau mengangguk setuju pada pendapatku.
Kau berhenti, dan tak lagi bercerita. Jangan-jangan, malam ini akan segera kau
akhiri.
Aku meremas jemarimu. Jika boleh, ingin
kuberi satu pelukan. Aku ingin kau tahu, terlalu sia-sia untuk menangisi segala
yang kau punya. Tapi kau tetap memilih hal itu. Malam kita jadi canggung.
Romantisme dalam kepalaku menguap. Sebab angan-anganku yang mengacaukan
segalanya? Atau, ini memang strategimu untuk membuatku patah lagi?
“Kalau kamu? Apa yang paling kamu
harapkan dari orang yang kamu cintai?” tanyamu, kemudian. Aku tertawa dalam
hati. Kau pasti sedang bercanda dengan pertanyaanmu.
“Apa?” Kau sedikit mendesak.
“Sederhana. Orang tersebut balas
mencintaiku.”
Kau mengangguk lagi. Kau setuju lagi.
Sayangnya, kau tak pernah melakukan itu padaku.
* * *