Seperti senja hari ini. Seperti malam yang akan turun nanti.
Akan ada waktu-waktu dimana kita rela menanti untuk sesuatu yang memberi bahagia pada akhirnya.
Sebab tak ada penantian yang tak berujung.
Tak ada satu perjalanan tanpa titik akhir.
Aku percaya itu.
Tuhan sudah lama tahu, aku mencintaimu.
Ia tahu setiap perasaan yang tak kubisikkan pada banyak orang.
Ia tahu setiap doa yang kurapal dalam ibadahku.
Juga mimpi-mimpi yang kuharap setiap malam.
Ada detik dan menit yang tak berhenti berdetak.
Ada pagi yang kunanti.
Yang tak membuatku menyerah pada malam yang belum membawamu pulang.
Aku (masih) percaya itu.
Setiap ingin sesungguhnya membawa serta sebuah harap.
Jika tak ada kini, pastilah nanti.
Jika tak ada nanti, pastilah suatu ketika.
Jika ada banyak suara yang menyebutku tak realistis.
Aku hanya ingin menjadi sedikit lebih optimis.
Aku ingin menaruh harap sekali lagi,
Dan lagi.
Sampai kapankah?
Sampai kau mencintaiku...
Kau selalu membicarakan tentang sepi.
Padahal aku selalu ada di sampingmu.
Kau mengeluhkan hidup dan mengatakan betapa lelahnya berjalan sendirian.
Kau bahkan tak sadar, aku tak pernah meninggalkanmu.
Kau kerap bercerita tentang harapan yang berganti menjadi angan.
Tentang mimpi yang pupus, dan esok yang tak pernah pasti.
Seolah tak ada aku yang bersedia ikut bersamamu.
Kau tak pernah sadar, aku lah harapan itu.
Kau meminta satu janji untuk dikabulkan, bagai menunggu kekasihmu yang tak ingkar untuk membangun seribu candi.
Kau lupa, hal-hal sederhana yang telah kuberi sekalipun tak kauminta.
Kau tak menganggap hal itu berarti.
Kau terus menunggu, dan aku mulai lelah untuk meyakinkanmu.
Kau selalu mengatakan seandainya tentang dia.
Dan aku mengungkapkan jika kepadamu.
Jika kau tak mengharapkan.
Jika kau tak menanti.
Jika kau melihat ke arahku saja.
Jika kau tahu...
Aku mampu menjawab semua tanyamu.
Aku mampu memberi yang kau butuh.
Namun kau tak tahu.
Dan kau tak mau tahu.
Menunggu membuatmu lupa.
Ada aku di sisimu...
Hidup punya cara sendiri untuk bermain-main denganmu.
Dia ciptakan perpisahan.
Agar kau mengerti tentang pentingnya kebersamaan.
Hidup juga sering meletakkan kita pada momen ketiadaan.
Karena mungkin dengan cara itu, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki.
Jangan tanya tentang sebab.
Karena 'kenapa' tak pernah membuatmu berhenti bertanya.
Bukankah selalu ada alasan untuk segala sesuatu?
Dan hal itu kerap terjadi di luar kendali kita.
Ada waktu-waktu dimana kita mempertanyakan apa yang hidup dipilihkan kepada kita.
Kenapa ada kepergian?
Apakah perpisahan tak bisa ditunda?
Tak bisakah waktu berhenti barang sedetik saja?
Sebab yang kita mau, saat ini menjadi abadi.
Sebab kita ingin bahagia selalu seperti ini.
Dua hal yang tak pernah bisa kita kalahkan adalah waktu dan takdir.
Sayangnya, hidup memiliki kedua hal itu.
Namun, bukankah selalu ada pilihan?
Mungkin kita tak mampu memutar waktu berjalan mundur.
Namun ada ruang dalam ingatan tempat kita merangkum segalanya.
Tempat kita bisa kembali.
Untuk sekadar tersenyum, mengulang bahagia sejenak, juga mengimani cara hidup memilihkan ceritanya untuk kita.
Walau lewat cara paling sederhana.
Hanya dalam rupa bernama kenangan.
Setiap dari kita pernah mengalami kecewa.
Untuk beberapa alasan, kita sadar, karena hal itu bermula dari sebuah harap.
Karena yang terjadi, tak seperti keinginan.
Dalam kasusku, hal itu adalah tentang dirimu.
Kau mungkin sama seperti aku.
Kau mungkin mengumpulkan kecewa yang sama tentangku.
Kau tahu ketidak sempurnaanku, sedang memimpikan hal yang sempurna tentang aku.
Hingga terkadang kau memilih tak mau melanjutkan langkahmu lagi.
Entah kau takut tentang kecewa itu.
Atau kau ingin membiarkanku merasa sepertimu.
Namun ketahuilah sebuah cara dalam hidup.
Cinta tak akan berhenti tumbuh sampai salah satunya menyerah lebih dulu.
Apakah kau akan memilih cara itu?
Sebab aku belum menyerah padamu.
Sebab tak akan kuhentikan segala ingin, jika itu adalah tentangmu.
Kau harus tahu, seringnya hidup tak sejalan dengan angan.
Ketika kuimpikan dirimu, kau sedang berbahagia dengan mimpimu yang lain.
Jangan tanyakan kemana aku ketika langkahmu sedang tertuju padaku.
Kita perlu sepakat, jika kau datang, maka aku yang akan menunggu.
Begitupun sebaliknya.
Karena dua orang yang memilih jalan masing-masing, tak akan pernah mungkin beriring.
Jangan beri aku pilihan.
Tak akan kuberi tanya yang sama padamu.
Sebab hingga kini,
aku belum juga menyerah padamu.
Bagaimana jika aku menjamin padamu?
Bahwa tak ada yang mampu memberimu cinta terbaik selain aku.
Mungkinkah kamu memahami kesungguhanku?
Bagaimana jika kamu memberi kesempatan kepadaku?
Ada peyakinan yang sangat besar tentang arti bahagia.
Bahwa aku, satu-satunya yang paling tahu bagaimana menciptakan bahagia itu.
Hidup terkadang terlalu rumit untuk dipahami.
Perjalanan juga terlalu melelahkan untuk sekadar mencari.
Aku hanya ingin kamu tahu.
Ada lautan cinta yang pasti, sedang kamu memilih menanti segenggam harap.
Ada keberadaanku di sini, sedang kamu meratapi ketiadaan.
Jika waktu bisa meyakinkanmu setiap detiknya.
Sudah kupastikan tak akan ada ragu lagi.
Karena setiap tetes waktu yang berlalu,
adalah rasaku yang kian ingin, adalah harapmu yang tak pasti.
Entah...
Siapa yang boleh disebut bodoh?
Aku yang terlalu mencintai,
atau kamu yang terlalu sabar menanti?
Ada satu mimpi yang sampai hari ini tak pernah berakhir.
Mimpi itu tentang kamu.
Tentang harap yang selalu kujatuhkan kepadamu.
Dan suatu hari nanti, kau menerimanya dengan sungguh-sungguh.
Harapanku begitu.
Kamu adalah sejuta ingin yang kuminta diam-diam kepada Tuhanku.
Yang kubisikkan Sayang setiap kali aku melihat gambar wajahmu.
Meski itu hanya bisa kuucap dalam sendiriku.
Tanpa kamu tahu. Tanpa orang tahu.
Doa-doaku setiap malam.
Kamu mengerti bahwa cinta tak akan pergi kemana-mana sebelum ia sampai pada tujuannya.
Cinta tak akan habis karena selalu ada ruang untuk diisi kembali.
Dan kamu kelak menyadari, bahwa itu semua adalah definisi rasaku kepadamu.
Cintaku utuh.
Cintaku tak ada bandingannya selain yang kamu terima dari yang lain.
Mengertikah kamu?
Mimpiku tentangmu tak pernah berakhir.
Tak tahu, jika kelak kamu menyadarinya.
Akankah tetap begitu.
Atau malah berlipat ganda nantinya.
Cerita soreku hari ini: tentang kamu, masih kamu, selalu kamu.
Serpih harap dan angan yang kukumpulkan merupa dirimu.
Terkadang, aku sangat merindukanmu.
Hingga aku tak tahu, sanggupkah aku menunggu esok, demi untuk melihatmu lagi.
Jangan abaikan aku, ketika aku berada dalam titik terendahku.
Jangan melewatkanku, ketika aku sedang sungguh mencintaimu.
Bisakah, sejenak saja, kita duduk semeja.
Dan biarkanku memandangi setiap liku wajahmu.
Sebelum pejam mataku, melarutkan setiap ingatku tentangmu.
Sampai kamu pergi nanti, kamu mesti tahu...
Bahwa aku,
tak pernah sekalipun melewatkan detik tanpa mencintaimu.
Serpih harap dan angan yang kukumpulkan merupa dirimu.
Terkadang, aku sangat merindukanmu.
Hingga aku tak tahu, sanggupkah aku menunggu esok, demi untuk melihatmu lagi.
Jangan abaikan aku, ketika aku berada dalam titik terendahku.
Jangan melewatkanku, ketika aku sedang sungguh mencintaimu.
Bisakah, sejenak saja, kita duduk semeja.
Dan biarkanku memandangi setiap liku wajahmu.
Sebelum pejam mataku, melarutkan setiap ingatku tentangmu.
Sampai kamu pergi nanti, kamu mesti tahu...
Bahwa aku,
tak pernah sekalipun melewatkan detik tanpa mencintaimu.
Nanti dulu, jangan buru-buru pergi. Rinduku belum tuntas padamu.
Nanti dulu, jangan buru-buru pergi. Sampai aku benar-benar lelah mencintai. Meski aku tak yakin kapan saatnya itu.
Nanti dulu, jangan cepat-cepat mengaku. Sepeti aku yang malu-malu meminta Tuhan menjadikanmu milikku.
Nanti dulu, jangan keburu ingin lupa. Kalau kenangan sudah tak ada, bagaimana caraku mengingat kamu lagi?
Nanti dulu, jangan cepat kau pahami. Aku dan perasaanku bukan untuk dimengerti, namun untuk diterima.
Nanti dulu, jangan segera melepasku. Karena mungkin aku tak akan kembali lagi.
Nanti dulu, jangan menilaiku semudah itu. Karena aku tak pernah mencintaimu serumit itu.
Bagaimana
aku bisa mempercayaimu Gamal, jika kamu tidak bisa mempercayaiku. Aku bisa mengerti
semua yang telah kamu lakukan belakangan ini. Aku tahu kamu telah sangat
memikirkanku. Pernah kuucapkan suatu kali, bahwa sulit bagiku untuk tidak
menominasikanmu menjadi suami terbaik di dunia ini.
Kamu
punya segalanya yang kubutuhkan. Waktu, perhatian, cinta. Apalagi? Namun
sekarang aku mempertanyakan semua yang kamu miliki itu? Aku mempertanyakan juga
kesetiaan yang kamu janjikan dulu.
Apa
peranku bagimu sekarang? Apakah kamu sudah menganggapku sebagai orang lain?
Kamu bilang, hanya Terra teman yang bisa memahami tujuanmu datang ke panti.
Namun kamu bahkan tidak memberikan kesempatan padaku untuk mendengar dulu
keinginanmu. Jika saja kamu melakukan itu, apa aku akan benar-benar menolak
keinginanmu?
Aku
tak paham. Aku tak ingin paham.
Baru
kali ini, dalam sepanjang pernikahan kita, aku merasa tidak menjadi siapa-siapa
bagimu. Sedang kamu telah menjadi segalanya bagiku.
Kamu
telah melakukan banyak hal besar bagiku. Mengorbankan dirimu demi
kebahagiaanku. Namun apa yang bisa kuberikan padamu selain luka dan hilangnya
harapan kita.
Aku
benci mengatakan ini Gamal. Benci mengakui kalau kamu sudah begitu baik padaku.
Dan kebaikanmu justru menjadi bumerang buatku. Yang tiba-tiba menyerangku
karena aku tidak bisa menjadi sosok sebaik dirimu.
Aku
berpikir semalaman tentang hubungan kita. Waktu itu, aku pernah marah padamu
dan mengusirmu. Kamu pergi, kamu mengalah. Kamu membiarkanku melakukan itu
padamu. Kamu hanya memohon sebuah kesempatan agar kita bisa kembali.
Kali
ini, aku tidak akan memintamu pergi. Sebaliknya, kupikir aku yang tak perlu ada
di sisimu. Bukan untuk meninggalkanmu Gamal. Namun, aku butuh waktu untuk
sendiri. Aku butuh menepi sejenak dari semua permasalahan ini. Mungkin di luar
sana, aku bisa menemukan alasan terbaik jika pun kita harus bersama. Atau
mungkin, kamu lah yang akan menemukan jawaban dari keinginan-keinginanmu.
Gamal…
aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Namun, jika kita bertahan dengan pisau
di setiap perkataan kita masing-masing. Bukankah itu artinya kita sedang saling
melukai? Cinta seharusnya tidak seperti itu Gamal. Cinta seharusnya membuat
kita bahagia, bukan terluka.
Nanti,
jika perasaan hatiku sudah lebih tenang, aku yang akan menghubungimu lebih
dulu. Jangan cari aku, karena aku pergi bukan untuk dicari. Aku hanya butuh
waktu untuk dirku. Dan aku memberikanmu waktu untuk dirimu.
Soal
semua yang telah kamu jelaskan kemarin sore. Kamu tak perlu mengutarakan maaf
lagi, karena kamu memang tidak perlu. Aku telah menerimanya. Dan aku tahu, kita
hanya perlu membicarakan itu satu kali saja untuk kita bisa mengerti.
Aku
mencintaimu Gamal…
Ada pertarungan sengit tentang dirimu dalam pikiranku.
Tentang keinginan untuk melupakanmu selamanya, atau terus bertahan dan meyakini bahwa kau akan mencintaiku suatu ketika nanti.
Bagaimana caraku memilah kesadaran tentang dirimu?
Aku tak tahu.
Sebab sejak saat cinta bertuliskan namamu, hidupku bagai mimpi yang tak pernah tahu di ujung mana akan terbangun.
Tetap saja, cinta itu sebuah perkara yang sulit.
Meski aku telah mengatakan bahwa aku belajar dari kesalahanku setelah mencintaimu.
Aku masih saja mencari-cari sepotong cinta darimu, dan kuanggap itu sebagai sebuah petualangan terindah.
Aku masih saja mendambamu, dan kuanggap jadi candu yang membuatku tak ingin lepas.
Aku payah.
Aku kalah.
Aku telah memasung kakiku sendiri dalam bayang-bayang dirimu.
Aku yang kini tak bisa lari dari balik tubuhmu.
Sedang kau tak kunjung menoleh ke arahku,
Dan aku tak tahu, kapan waktu itu akan tiba.