Hari Itu, Aku Bertanya Tentang Cinta

By Robin Wijaya - Oktober 23, 2015

I owe the picture here

Aku sedang duduk di sudut ruangan. Di meja bar. Dengan lantunan lagu James Blunt yang mengalir melalui headset yang menyumbat kedua lubang telingaku. Ruangan ini sepi. Kelewat sepi malah. Hingga desis angin dari pendingin ruangan dan lembaran buku yang dibuka oleh seseorang di sudut lainnya terdengar begitu kentara menggantikan suara musik yang berhenti.

Ini bukan deja vu. Tapi cepat kuteringat ragam hal yang memadu momen yang kusuka. Keheningan. Musik sederhana. Sudut ruangan. Hanya kurang kopi saja untuk jadi pelengkap. Namun lebih dari itu, sesuatu mendesakku untuk membuka laptop yang tersimpan di tas. Mengajakku menulis sesuatu. Hal itu adalah: perasaan.

Aku tak tahu bagaimana orang memandang cinta dan perasaan. Jauh sebelum aku mencoba mengerti. Aku seringnya tak paham kenapa seseorang mesti menangis untuk sesuatu, tertawa untuk sesuatu, bahkan putus asa karena sesuatu.

Namun cepat pula kuteringat waktu dimana aku duduk berdua dengan seseorang. Berhadap-hadapan. Ini bukan kisah romantis dimana kau saling melempar senyum tanpa melepas tatap satu sama lain. Yang terjadi adalah sebaliknya. Ruang yang kosong tanpa percakapan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati kami masing-masing, namun tak kunjung terucapkan. Aku mempertanyakan pilihan-pilihan dalam hatiku, dan pertanyaan yang sama mungkin tengah ia ajukan pada dirinya sendiri.

Meja marmer tempat kami menumpukan tangan terasa dingin. Seperti harapan yang nyaris habis.

Hari itu, aku bertanya, apa yang sesungguhnya dicari cinta? Dulu, ketika aku punya sebelah hati. Kuharap sebelah milik orang lain akan melengkapi. Sederhana. Mudah. Bahkan tak lebih rumit dibandingkan menggabungkan puluhan keping puzzle pada satu bidang.

Namun aku bahkan tak tahu kalau pada kenyataannya cinta tak pernah sesederhana itu. Coba tanyakan ini. Apa pemahaman dirimu tentang cinta?

Aku pernah berkata, bahwa cinta saja sudah cukup ketika kau mencintai seseorang. Namun cinta yang seperti apa yang dinilai cukup? Yang perhatiannya tak berbatas? Yang rindunya tak pernah habis? Yang pengorbanannya begitu besar? Atau... yang memberimu rasa percaya?

Sesungguhnya, cinta tak pernah punya definisi. Bagi beberapa orang cinta berlaku seperti siang yang benderang. Dan bagi yang lainnya, cinta menyerupai malam yang membuatmu selalu ingin pulang.

Jadi, hari itu. Ketika seseorang yang duduk di hadapanku bicara banyak tentang cinta dan perasaan. Aku memilih mendengarkan. Aku tak mau menjadi seorang ahli yang merasa paling banyak tahu soal perasaan orang lain. Juga yang merasa paling mencukupi perasaan. Apalagi menjanjikan setia sedang pada waktu saja kadang kita berkhianat.

Percakapan kami berakhir. Aku menggenggam tangannya erat-erat. Kuucapkan terima kasih. Telah memberi pengertian lain tentang cinta. Dan tanda tanyaku malam itu tak juga terjawab. Tidak sepenuhnya. Karena sebagian lainnya, mungkin akan muncul satu persatu seiring kau berjalan bersama rasa.

Hari itu, aku masih bertanya tentang cinta. Namun ia pun tak mengatakan kalau ia punya jawaban yang aku cari. Ia hanya berkata, belajar memahami adalah cara cinta berjalan untuk mencari jawaban yang ia mau.

  • Share:

You Might Also Like

3 komentar

  1. Selalu menyenangkan membaca tulisannya....
    seperti ada perasaan yang terlewat dan teringat kembali begitu membaca tulisan bang robin....very very love

    BalasHapus
  2. bang robin kalo aku minta saran kritik buat tulisan aku boleh gak?pengen banget bikin novel....mungkin bisa membantu? hehe

    BalasHapus