Nanti dulu, jangan buru-buru pergi. Rinduku belum tuntas padamu.
Nanti dulu, jangan buru-buru pergi. Sampai aku benar-benar lelah mencintai. Meski aku tak yakin kapan saatnya itu.
Nanti dulu, jangan cepat-cepat mengaku. Sepeti aku yang malu-malu meminta Tuhan menjadikanmu milikku.
Nanti dulu, jangan keburu ingin lupa. Kalau kenangan sudah tak ada, bagaimana caraku mengingat kamu lagi?
Nanti dulu, jangan cepat kau pahami. Aku dan perasaanku bukan untuk dimengerti, namun untuk diterima.
Nanti dulu, jangan segera melepasku. Karena mungkin aku tak akan kembali lagi.
Nanti dulu, jangan menilaiku semudah itu. Karena aku tak pernah mencintaimu serumit itu.
Bagaimana
aku bisa mempercayaimu Gamal, jika kamu tidak bisa mempercayaiku. Aku bisa mengerti
semua yang telah kamu lakukan belakangan ini. Aku tahu kamu telah sangat
memikirkanku. Pernah kuucapkan suatu kali, bahwa sulit bagiku untuk tidak
menominasikanmu menjadi suami terbaik di dunia ini.
Kamu
punya segalanya yang kubutuhkan. Waktu, perhatian, cinta. Apalagi? Namun
sekarang aku mempertanyakan semua yang kamu miliki itu? Aku mempertanyakan juga
kesetiaan yang kamu janjikan dulu.
Apa
peranku bagimu sekarang? Apakah kamu sudah menganggapku sebagai orang lain?
Kamu bilang, hanya Terra teman yang bisa memahami tujuanmu datang ke panti.
Namun kamu bahkan tidak memberikan kesempatan padaku untuk mendengar dulu
keinginanmu. Jika saja kamu melakukan itu, apa aku akan benar-benar menolak
keinginanmu?
Aku
tak paham. Aku tak ingin paham.
Baru
kali ini, dalam sepanjang pernikahan kita, aku merasa tidak menjadi siapa-siapa
bagimu. Sedang kamu telah menjadi segalanya bagiku.
Kamu
telah melakukan banyak hal besar bagiku. Mengorbankan dirimu demi
kebahagiaanku. Namun apa yang bisa kuberikan padamu selain luka dan hilangnya
harapan kita.
Aku
benci mengatakan ini Gamal. Benci mengakui kalau kamu sudah begitu baik padaku.
Dan kebaikanmu justru menjadi bumerang buatku. Yang tiba-tiba menyerangku
karena aku tidak bisa menjadi sosok sebaik dirimu.
Aku
berpikir semalaman tentang hubungan kita. Waktu itu, aku pernah marah padamu
dan mengusirmu. Kamu pergi, kamu mengalah. Kamu membiarkanku melakukan itu
padamu. Kamu hanya memohon sebuah kesempatan agar kita bisa kembali.
Kali
ini, aku tidak akan memintamu pergi. Sebaliknya, kupikir aku yang tak perlu ada
di sisimu. Bukan untuk meninggalkanmu Gamal. Namun, aku butuh waktu untuk
sendiri. Aku butuh menepi sejenak dari semua permasalahan ini. Mungkin di luar
sana, aku bisa menemukan alasan terbaik jika pun kita harus bersama. Atau
mungkin, kamu lah yang akan menemukan jawaban dari keinginan-keinginanmu.
Gamal…
aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Namun, jika kita bertahan dengan pisau
di setiap perkataan kita masing-masing. Bukankah itu artinya kita sedang saling
melukai? Cinta seharusnya tidak seperti itu Gamal. Cinta seharusnya membuat
kita bahagia, bukan terluka.
Nanti,
jika perasaan hatiku sudah lebih tenang, aku yang akan menghubungimu lebih
dulu. Jangan cari aku, karena aku pergi bukan untuk dicari. Aku hanya butuh
waktu untuk dirku. Dan aku memberikanmu waktu untuk dirimu.
Soal
semua yang telah kamu jelaskan kemarin sore. Kamu tak perlu mengutarakan maaf
lagi, karena kamu memang tidak perlu. Aku telah menerimanya. Dan aku tahu, kita
hanya perlu membicarakan itu satu kali saja untuk kita bisa mengerti.
Aku
mencintaimu Gamal…
Ada pertarungan sengit tentang dirimu dalam pikiranku.
Tentang keinginan untuk melupakanmu selamanya, atau terus bertahan dan meyakini bahwa kau akan mencintaiku suatu ketika nanti.
Bagaimana caraku memilah kesadaran tentang dirimu?
Aku tak tahu.
Sebab sejak saat cinta bertuliskan namamu, hidupku bagai mimpi yang tak pernah tahu di ujung mana akan terbangun.
Tetap saja, cinta itu sebuah perkara yang sulit.
Meski aku telah mengatakan bahwa aku belajar dari kesalahanku setelah mencintaimu.
Aku masih saja mencari-cari sepotong cinta darimu, dan kuanggap itu sebagai sebuah petualangan terindah.
Aku masih saja mendambamu, dan kuanggap jadi candu yang membuatku tak ingin lepas.
Aku payah.
Aku kalah.
Aku telah memasung kakiku sendiri dalam bayang-bayang dirimu.
Aku yang kini tak bisa lari dari balik tubuhmu.
Sedang kau tak kunjung menoleh ke arahku,
Dan aku tak tahu, kapan waktu itu akan tiba.
Aku enggan menulis.
Namun pikiranku tak mau berhenti bicara.
Mulai dari sejumlah pertanyaan, hingga monolog yang kuberikan kepada diriku sendiri.
Atas sesuatu.
Tentang sesuatu.
Pagi ini, hari terasa indah untuk sebagian orang.
Bagiku, justru sebaliknya.
Ada kegelisahan yang ingin kutanyakan kepada Tuhan.
Meski aku tahu, jawaban itu akan datang pada waktu yang telah Ia tentukan.
Bukan pada saat yang paling kita inginkan.
Aku tahu, terkadang Tuhan menjawab doa-doa lewat orang-orang di sekitar kita.
Ia tak berdialog begitu saja.
Ia ingin kita belajar dan merasa lebih dalam.
Ia ingin kita mencari tahu.
Namun, bukankah terkadang ada lelah yang ingin kita tangguhkan.
Ada beban yang tak ingin kita sandang di bahu.
Bukan karena tak ingin.
Hanya karena kita manusia.
Ketabahan kita tak seperti malaikat yang utuh sepanjang masa.
Kita hanyalah manusia...
Mungkin terdengarnya, ini terlalu awal untuk diucapkan.
Tetapi, dalam 3 hari terakhir setidaknya, sudah beberapa kali aku merasakan, bahwa mungin aku tak akan bisa hidup tanpamu.
Tanpa mencintaimu. Walau sekejap saja.
Beberapa tahun lalu, kita memulai ini tanpa letupan cinta seperti yang dialami remaja.
Aku menilai, caramu mencintai begitu sederhana dan tak terlihat mengada-ngada.
Kamu tak memasang satu standar tertentu, bahwa mencintai seharusnya seperti ini, atau seperti itu.
Kamu mencintai dengan caramu seharusnya mencintai.
Dan kamu ingin dicintai, sebagaimana cinta itu semestinya mencintai.
Pagi lalu, ketika aku terjaga dan menemukanmu di sebelahku.
Aku telah merasakan momen terbaik dalam hidupku.
Dan aku berani bertaruh apapun, untuk menemukan pagi yang sama lagi seperti kemarin.
Tentu, dengan keberadaanmu.
Aku tak tahu apa yang akan terjadi di waktu mendatang.
Terkadang, ketakutan itu muncul, bahwa perjalanan yang panjang ini akan diselipi beberapa luka.
Namun, tahukah kamu, bahwa sesungguhnya, aku tak pernah mencintai seseorang sebesar ini.
Sedemikian besarnya hingga aku tak punya pilihan kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Seperti yang kita tahu, tak ada yang sempurna di dunia ini.
Tidak kamu, dan tidak juga aku.
Namun, aku akan tetap mencintaimu.
Meski ini sepertinya terlalu awal untuk diucapkan.
Tetapi tetap saja...
...aku merasa bahwa aku tak akan bisa hidup tanpamu.
Aku, mungkin seperti kebanyakan orang lainnya.
Yang selalu menganalogikan cinta sebagai rumah.
Untuk kembali pulang.
Untuk beristirahat sejenak.
Untuk berlindung dari terik maupun dingin.
Dan kamu adalah pengelana yang selalu ingin pergi.
Yang selalu mencari.
Yang terkadang, berjalan seperti tak punya arah pasti.
Namun, semua pengelana pun butuh rumah.
Sesungguhnya pergi adalah sebuah perjalanan untuk kembali.
Maka, aku tak akan memintamu bergegas pulang.
Kubiarkan kamu berada di sebuah ruang bernama entah.
Biar kamu mencari apa yang ingin kamu cari.
Menemukan apa yang ingin kamu temukan.
Aku hanya perlu setia.
Pada peluk hangat yang selalu kujadikan sambutan atas kepulanganmu.
Pada senyum yang tak kugugurkan dengan segera begitu kamu datang.
Pada genggaman yang senantiasa hangat di sela-sela jarimu.
Welcome home, Sayang.
Telah kusiapkan kado terindah atas kedatanganmu.
Cinta...
yang tak pernah menolak adamu buatku.
Apa yang akan kamu lakukan ketika seseorang meletakkan sekotak kenangan
di depan rumahmu?
Menyisipkan sebagian yang ingin kamu ingat, dan sebagian lainnya tidak.
Mungkin ini lebih dari sekadar persoalan masa lalu dan ingatan.
Bahwa sebaiknya kaki yang telah melangkah, tak perlu lagi dijerat
bayang-bayang.
Bahwa kepalamu yang menatap lurus ke depan, sebaiknya tak perlu lagi
menoleh ke belakang.
Kita adalah manusia.
Mengingat-ingat adalah salah satu kegemaran kita.
Merupa kejadian dalam kepala, yang kerap mendulang senyum kembali.
Atau merasai lagi luka-luka yang lampau itu. Karena sakit di hati, tak
pernah bisa diobati, kecuali kita memilihnya sendiri.
Sesungguhnya, hidup kita tidak diperkarai hal itu saja.
Selemah-lemahnya ingatan menolak, bukankah hati tetap harus dikuatkan.
Jadi… jangan lekas gembira jika seseorang meletakkan sekotak kenangan
di depan rumah.
Kalau tidak ditinggalkan saja, sebaiknya kembalikan saja pada yang
punya.