Cinta Tak Pernah Salah #1
By Robin Wijaya - November 14, 2011
Karena
malam yang jujur tak lagi bertanya kepada siapa dan untuk siapa cinta pulang?
Waktu tak pernah berhenti memang, tapi ada kalanya menunggu belasan menit
sama lamanya seperti bertahun-tahun, ketika menunggu menjadi sebuah aktifitas
yang membosankan. Aku melirik arloji di pergelangan tanganku berkali-kali. Waktu seolah jalan di tempat kalau begini,
desahku dalam hati. Menunggu Karine selesai dengan segala aktifitasnya,
betul-betul menjemukan.
Aku mengantuk-antukan ujung sepatuku ke lantai batu. Bukan aktifitas
berarti, tapi kita seringkali melakukannya hanya untuk sesuatu yang lebih
penting ketimbang diam tanpa melakukan apapun. Aku melirik arloji sekali lagi,
belum banyak berubah. Yeah, bukankah kurang dari satu menit yang lalu aku baru
saja mengecek arlojiku? Dan sekarang, untuk mengusir jenuh yang hinggap, aku
mulai berjalan keliling area parkir seperti petugas keamanan yang sedang
bertugas jaga.
Lima, sepuluh, lima belas menit, hingga akhirnya dua puluh menit berlalu.
Aku sendiri tak menyangka dapat memecahkan rekor sepanjang ini.
Ketika akhirnya seorang perempuan berkaki jenjang dengan pakaian kantor
yang masih melekat rapih di tubuhnya keluar dari lobi, segala penantianku
berakhir. Ini bukan reaksi seperti biasanya. Mungkin umpatan kesal akan segera
meluncur begitu aku bertemu orang yang telah membuatku menunggu begitu lama.
Tapi tidak dengan Karine.
Karena
cinta memaafkan segalanya. Kurang, dan keliru.
Karine mengulum senyum yang tak reda. Sambil menyelempangkan tas kerja
bertali kecil ke bahu kanannya, ia segera merapat ke arahku.
“Mau jalan sekarang?” tanyanya, terus terang. Dan seharusnya aku yang
bertanya begitu. Bukan kah aku yang telah menunggu?
“Tentu,” lidahku meredam segala penolakan.
Aku membuka pintu mobil, memberi ruang bagi Karine untuk menjatuhkan
tubuhnya di jok penumpang. Baru kemudian aku bergegas ke arah yang berlawanan.
Duduk di belakang kemudi, dan menatap ke arahnya sejenak.
“Kita nggak jalan sekarang?” tanya Karine, tampak heran karena dipandangi
begitu.
Aku menahan kata-kata di ujung lidahku. “Just wanna praise your appearance tonight. You look… great. Beautiful,”
ucapku, memuji penampilannya yang memesona meski dalam balutan busana kerja.
“Gombal,” sahutnya ketus, tapi tak bisa menyembunyikan rona merah di
pipinya, malu-malu.
“I’m really serious.”
“Aku nggak lagi pakai gaun malam loh.”
“No matter the way you dress. The
beauty comes from you, inside.”
Pipi Karine semakin bersemu dipuji seperti itu.
“Sudah ah. Perutku sudah lapar,” Karine berusaha menghentikan segala
kegombalanku, meski lebih tampak sebagai usahanya untuk menutupi sikapnya yang
salah tingkah setelah dipuji berkali-kali.
Aku menghidupkan mesin mobil, menarik persneling dan mulai memacu mobil
meninggalkan area parkir.
Hari yang terus beranjak malam, meski ruas jalan tak pernah sepi dari
kendaraan dan orang yang berlalu lalang. Lampu jalan di kanan kiri, berbagai
baliho dan papan reklame yang disorot lampu tembak seolah mengisyaratkan
Ibukota yang tak pernah lelap meski hari telah memejamkan mata menjadi gelap.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?” tanyaku membuka percakapan di sela
perjalanan.
“Lumayan,” jawab Karine, pendek.
“Meeting-nya?”
“Lancar.”
That’s her. Apa kah dia tak
punya kosakata lain untuk digunakan?
“Kenapa?” tanya Karine heran, menyadari kalau aku melirik ke arah nya
sekian detik setelah jawaban-jawaban singkatnya barusan.
“Jawabanmu pendek-pendek.”
“Hanya jawaban,” sahutnya sambil mengangkat bahu, “Lagipula, memang itu
kan intinya?” tambahnya lagi.
Aku mengurai senyum. Karine tak banyak berubah. Dari dulu ia begitu.
Bukan tipikal orang yang gemar menjawab pertanyaan dengan panjang dan lengkap.
Jadi, jangan harapkan mendapat jawaban detail ketika kau bertanya apapun
tentangnya, kecuali kau juga memberikan pertanyaan yang detail.
Mobil masih melaju di salah satu ruas jalan menuju Tebet. Ada sebuah
tempat makan yang enak di sana – favoritku, dan aku yakin Karine pun juga akan
menyukainya.
“Nggak ada musik yang bisa diputar?” tanyanya, mungkin karena mulai
merasa jenuh.
“Playlist-nya kosong. Belum aku
isi.”
Karine mendesah kecewa. “Kalo tahu begitu, aku bawa CD Simple Plan tadi,” ucapnya menggerutu.
Aku melirik spontan, “masih suka Simple
Plan?”
Karine menjawab dengan anggukan.
“Band jadul gitu,” komentarku.
“Nggak jadul-jadul amat ah. Coba bandingin sama Air Supply, atau Michael
Learns To Rock!”
“Kalo itu emang beda generasi,” timpalku, tak setuju dengan perbandingan
yang diajukan Karine.
“Suntuk deh,” lanjutnya, mengeluhkan keadaan di dalam mobil yang sepi
tanpa iringan musik.
Aku menyalakan lampu sign
sebelah kiri, tempat yang kami tuju sudah tidak seberapa jauh dari persimpangan
ini. “Ngobrol aja kalo begitu, restonya juga tinggal setengah kilometer lagi
kok.”
“Obrolannya buat nanti, pas kita makan.”
“Memangnya, kita bakal kehabisan obrolan?”
Karine melempar pandangannya ke arahku, “dari dulu, yang suka ngobrol kan
kamu, bukan aku.”
“And so?” aku mengurai senyum.
Karine menjatuhkan tubuhnya di sandaran jok. Ia memandang sejenak keluar
mobil, mengamati jalanan Ibukota dalam suasana malam. Cukup lama, sampai
akhirnya ia membalikan pandangannya kembali ke arahku.
“Kapan terakhir kita ketemu?” tanyanya tiba-tiba.
“Kapan?”
“Iya. Kapan?”
“Ummm…,” aku menggumam, mengingat-ingat. “Lebih dari tujuh tahun yang
lalu.”
“Selama itu kah?”
Tubuh Karine terangkat dari sandarannya ketika ia mengucapkan itu.
Seolah, jawaban tadi adalah jawaban paling mengejutkan yang pernah didengarnya.
“Bagiku, waktu tujuh tahun itu nggak cukup lama, kalo akhirnya terbayar
dengan pertemuan kita belakangan.”
Karine mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku menoleh ke arahnya spontan,
dan menemukan wajah Karine yang menatapku serius.
“Selama ini, kamu nggak berusaha mencariku?” tanyanya.
“I did.”
“Kamu berusaha untuk menemukanku kembali?”
Aku mengangguk. “Apakah kamu berharap aku datang kembali?”
Karine tak menjawab kali ini. Ia menarik tubuhnya, bersandar pada jok
kembali dan menatap lurus ke depan.
“Kita sudah sampai,” ucapnya memberitahuku, dan pertanyaanku tadi tak
pernah dijawabnya, karena Karine sudah lebih dulu turun ketika mobil kami
sampai di pelataran parkir.
* * *
Makan malam yang tak pernah sepi dari obrolan. Begitulah kami duduk
berhadap-hadapan, menikmati makan malam yang lezat dan selalu ada topik yang
terasa menarik untuk diperbincangkan.
Karine menyesap wine dari gelas
bertangkai panjang. Ia tertawa lepas saat mendengar ceritaku tentang seorang
perempuan berumur dengan pakaian minim yang melamar kerja sebagai sekretaris
pribadiku.
“Aku juga nggak habis pikir, bagaimana mungkin HRD bisa meloloskan
perempuan itu pada seleksi pertama dan kedua.”
“Mungkin, dia mengiming-imingi sesuatu yang menarik pada HRD-mu,” sahut Karine
masih dengan senyum yang belum lepas.
“Dengan apa?”
“Dengan penampilannya. Kamu bilang, dia berpakaian minim kan?”
“What? She’s forty something . And
the way she dresses really gives me bad impression.”
“Bukannya, kamu suka perempuan seksi?”
Aku tertawa terbahak-bahak. Entah bagaimana Karine membuat perbandingan
demi perbandingan yang tak pernah sepadan.
“Seksi itu nggak harus selalu lewat busana dan penampilan kan? Even you look sexy, in many ways you are.”
“Gombal!” Karine melempar serbet ke arahku, dan aku cuma bisa memasang
senyum puas karena telah berhasil menggodanya.
Karine merapatkan jari-jari tangannya dan menumpukan dagunya disana.
“Why?” tanyaku, heran karena
dipandangi seperti itu.
“Nothing.”
Aku meraih kedua tangan Karine, memaksanya melepas jari-jari tangannya
yang tertaut, lalu menggenggamnya lembut.
“I loved you. And still love you.”
Karine membeku sejenak. Meski bergeming, ia tak bisa menyembunyikan
perasaannya di hadapanku. Mata, dan senyum yang terurai sudah cukup menjelaskan
semuanya.
“Ar, May I ask something to you?”
“Yes, you may.”
“Drive me home, now! Mulai
nggak nyaman, karena aku satu-satunya perempuan disini yang dinner tanpa gaun malam.”
“Oh, shit!” Aku tergelak.
“Malam yang salah untuk dinner,”
komentarku.
“Kenapa kamu mengajakku di hari meeting
begini?”
Karine meletakkan serbet dari pangkuannya ke atas meja. Ia bangkit
seketika. Aku ikut berdiri kemudian, lalu memberikan sebelah lenganku, dan Karine
segera menggamitnya. Kami pergi, meninggalkan resto.
* * *
Karine dan aku tak pernah sampai ke rumahnya. Entah siapa yang memberi
idelebih dulu, tanpa kesepakatan dan rencana apapun pada awalnya, kami malah
pergi ke apartemenku.
Di ruang tengah apartemen, kami berbincang dan tertawa. Melewati waktu,
seolah malam tak pernah berujung pagi.
Dan seperti harapan yang tak ingin pupus, seperti kerinduan yang tak
pernah ingin disekat. Ketika akhirnya pandangan kami bertautan, tak ada
kata-kata kemudian.
Demikian
cinta melumpuhkan kata. Tanpa perlu bicara untuk mengetahui perasaan di antara.
Segalanya membawa kami pada kenangan lama, mengingatkan semua yang pernah
terputus dan akhirnya dipertemukan kembali. Kami merapat, menghilangkan batas,
membuat tubuh kami tak lagi berjarak. Bukan keinginan. Bukan naluri. Hanya
perasaan, yang telah lama terpenjara.
Kami saling menyentuh, lalu.
“Aku merindukanmu, sejak kamu pergi waktu itu,” desahku, pelan.
Karine meletakkan kedua telapak tangannya di pipiku, “Maafkan aku, karena
pergi waktu itu. Tapi itu semua bukan keinginanku,” jawabnya, menatap mataku
lekat.
“Tak perlu maaf lagi, Karine. Karena kamu sudah berada disini sekarang.”
Aku memajukan wajahku, mengecup bibirnya. Karine tak pernah menolak, tak
sanggup mengingkari hasrat yang terpendam sekian lama.
Aku meraih tubuh Karine lebih rapat lagi, menyelipkan tangan di punggung
dan belakang lututnya, mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam kamar.
Kami jatuh tersungkur di atas tempat tidur. Bibir kami memagut, tak mau
berhenti.
Malam
yang penuh gairah, tak akan padam karena cinta.
“Aku mencarimu waktu itu, kemana pun.”
“Karena kamu mencintaiku?”
“Selalu. Kamu tahu itu?”
“Aku yang menunggu kehadiranmu.”
“Kenapa kita harus dipisahkan begini, karena cinta?”
Karine melingkarkan kedua lengannya di leherku.
“Jangan tanya itu lagi, Ar. Bawa aku sekarang! Biar aku tetap menjadi
milikmu.”
Tatapan kami bertemu, sekian detik lamanya. Desah nafas yang tertahan,
berubah menjadi gairah yang tertumpah, kemudian.
Memagut, saling menyentuh, mencumbu, tanpa lagi memedulikan apa yang
menjadi halangan dan batasan dalam cinta kami berdua. Tak peduli, seberapa jauh
kami harus melangkah, jika memang begini cara cinta meluapkan keinginannya.
Begitulah
cinta. Meski tersesat, tapi tak mau pergi menyelamatkan diri.
* * *
Cahaya matahari merambat masuk, menembus celah di antara jendela dan
tirai yang tertutup rapat. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba
menolerir terang yang hadir mengisi kisi-kisi kamar.
Aku mengusap wajah dengan kedua tanganku. Sambil menyibak selimut yang
menutupi tubuh, aku mengangkat tubuh dan duduk bersandar di kepala tempat
tidur. Di saat yang bersamaan Karine muncul dengan stelan pakaian kerja yang rapih.
“Kamu bangun pagi sekali,” komentarku.
“Pagi? Sudah jam delapan sekarang. Dan cuma pemalas yang bangun jam
segini.” Karine balas mengomentariku.
Aku bangkit dari tempat tidur, “Kamu mau berangat ke kantor sekarang?”
tanyaku.
“Ya. Statusku kan masih pegawai.”
“Kenapa kamu tidak merubah statusmu saja?”
“Maksudmu?”
Aku menarik sebelah tangan Karine , mengajaknya ikut duduk di tepi tempat
tidur.
“Tinggalah disini, bersamaku.”
Karine menyeringai kecil mendengar permintaanku. Dan sesaat kemudian,
senyumnya memudar. Menunjukan perubahan suasana di hatinya.
“I am happy by doing this with you.”
“Tanpa ikatan?”
“Waktu sudah berjalan terlalu jauh, Ar. Dan, kita tak pernah bisa
mengulang segalanya dari nol lagi.”
“Tak ada kesempatan kah?”
“Aku tak tahu.”
Karine bangkit, mengambil ponsel dan beberapa barang lainnya di atas
nakas, lalu memasukannya ke dalam tas kerja.
“Aku punya suami, dan aku tidak mungkin meninggalkannya.”
“Tapi kamu tidak mencintainya. Kamu mencintaiku.”
Karine membalikan tubuh, memunggungiku.
“Cinta sudah terlalu lama pergi.”
Cinta
seharusnya selalu kembali pulang.
“I’m here, with you. Aku adalah
cintamu.”
Karine bergeming, menggenggam tas kerjanya dan tetap berdiri menatap
dinding di hadapannya.
“Aku sudah hampir telat, Ar. Kita bisa membicarakannya lagi nanti,” sahut
Karine, akhirnya. Meski itu bukan jawaban atas keinginanku.
Karine membalikkan tubuh perlahan, ia mengulum senyum yang jelas terlihat
dipaksakan.
“Sore ini suamiku pulang ke Jakarta. Jadi, kamu nggak perlu jemput aku di
kantor.”
“Jika aku ingin bertemu denganmu?”
“Aku akan menghubungimu.”
Karine mengalungkan tas kerja ke lengan kirinya. Ia melangkah
menghampiriku. “I gotta go now,”
pamitnya.
Aku menarik lengan Karine sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan
ruangan ini. Jarak yang dekat dan tubuh kami yang hampir rapat, membuat Karine
sempat melempar pandangannya ke arah yang tak tentu. Menunjukan kalau ia tengah
berusaha menyembunyikan resah di hatinya.
Aku meraih dagu Karine, mengecupnya perlahan dan tanpa penolakan sedikit
pun darinya. “Aku menunggu kabar darimu,” bisikku pelan.
Karine melepaskan genggamanku. Ia melangkah keluar, meninggalkan ruangan
ini menjadi kosong dan sepi dengan kepergiannya.
* * *
1 komentar
Cinta memang tidak pernah salah. Hanya terkadang, waktu yang terlambat datang. Kemudian, kita akan beranda-andai, waktu yang hilang itu datang kembali atau mungkin datang lebih awal. andai...
BalasHapus