Cinta Tak Pernah Salah #2

By Robin Wijaya - November 18, 2011


            Hari yang sama, setelah Karine pergi pagi tadi. Aku memacu mobilku meninggalkan apartemen. Meski sudah dilarang oleh Karine, tapi tetap tak bisa menahan keinginanku untuk bertemu dengannya lagi.

Aku memarkir kendaraanku di area parkir yang cukup dekat dengan lobi. Dari sini, aku bisa melihat dengan jelas kalau saja jam kerja Karine sudah berakhir. Aku juga sengaja datang lebih telat dari kemarin, dengan alasan agar tidak menuggu terlalu lama hingga jenuh.
Hampir lima belas menit lamanya aku menunggu di dalam mobil, ketika satu persatu karyawan di kantor ini mulai menghambur keluar lobi. Aku mencermati wajah-wajah dan penampilan setiap orang yang keluar dari dalam, berusaha menemukan Karine di antara mereka. Dan ketika sosok perempuan berkaki jenjang itu melangkahkan kaki dari dalam lobi, aku segera menghidupkan mesin mobil, bersiap untuk menjemputnya.
Tapi entah darimana munculnya, tiba-tiba saja sebuah Alphard putih yang mentereng berhenti tepat di sisi kanan Karine dan membuat langkah perempuan itu ikut berhenti. Raut muka Karine berubah seketika. Pintu Alphard dengan design slide itu terbuka perlahan, menambah kesan dramatis dari kemewahan yang ingin ditunjukkan pemiliknya. Karine belum sempat mengangkat kakinya untuk masuk ke dalam sana – karena di saat yang bersamaan seorang lelaki dalam stelan jas yang rapih dan necis keluar dari dalam dan membuka lengannya lebar-lebar. Membuat Karine mau tak mau jatuh ke dalam pelukannya dengan raut wajah rindu – dan aku tak tahu setulus dan sejujur itu kah hatinya?
Orang-orang yang kebetulan lewat, langsung menganggukan kepala dengan sopan kepada si lelaki tersebut. Beberapa di antaranya mengurai senyum penuh hormat. Dan beberapa lagi tertangkap mata tengah berbisik pelan sambil mencuri pandang pada pasangan yang masih melepas kangen di samping Alphard tersebut. Entah apa yang mereka bicarakan di belakang lelaki dan perempuan itu. Mungkin, memuji kemesraan mereka, mungkin iri, atau mungkin… membicarakan gosip soal keduanya.
Itu dia. Lelaki itu. Lelaki berusia empat puluhan yang tubuhnya mulai menunjukkan gumpalan di bagian pinggang dan perut – yang tengah berpelukan mesra dengan Karine. Itulah suaminya. Dan aku kalah cepat hari ini.
Dari balik kemudi aku masih menyaksikan Karine mengobrol sebentar dengannya, sebelum akhirnya keduanya masuk ke dalam mobil, dan meninggalkan halaman gedung ini.
Aku menghidupkan mesin mobil, membuntuti Karine dan suaminya dari jarak yang cukup aman. Kami memang tak sempat bertemu hari ini, tapi rasa penasaran mengundangku untuk sekedar ingin tahu kemana mereka akan pergi. Dua hingga lima ratus meter pertama, dengan jarak sekitar tiga puluh meter aku berharap Karine tidak cepat mengenali mobilku – atau tak sengaja melihat mobilku.
Berharap masih bisa terus mengekor Alphard putih tersebut, tapi tiba-tiba panggilan masuk di ponselku membuat konsentrasiku buyar.
“Hallo?” sapaku membuka percakapan.
“Hallo, Ar. Ikut gue yuk!” si penelepon langsung menyahut, tanpa basa-basi.
“Kemana?”
Aku masih berusaha mendapati jejak mobil suami Karine.
“Pameraan komputer di JCC,” jawabnya.
“Oooo...”
“Ooo doang?”
Mobil berbelok.
“Iya, iya bentar,” aku menengok ke kaca spion lalu memandang lurus lagi ke depan.
Ada perempatan.
“Kenapa?”
“Ke pameran komputer.”
Truk pengangkut bahan bakar lewat, memotong di perempatan.
“Sial! Gue kehilangan jejak mereka, kan!” aku menggerutu, kesal.
“Jejak apa?” suara si penelepon di seberang sana bertanya heran.
“Jejak Karine sama suaminya!”
“Nggak ngerti gue. Udah, mendingan lo kesini sekarang, gue tunggu.”
“Lo sih, pake nelepon segala.”
“Nggak terima komplain. Cepetan kesini.”
Meski awalnya aku tak langsung mengiyakan, tapi akhirnya aku memutar balik mobilku dan melaju ke tempat yang sudah dijanjikan oleh si penelepon tadi.
Itu Tommy, temanku sejak aku pindah ke Jakarta lima tahun yang lalu. Saat pertama aku datang ke Jakarta dulu, tak ada seorang kerabat pun yang aku kenal disini. Tommy adalah satu-satunya yang berbaik hati memberi tumpangan tempat tinggal sampai akhirnya aku punya tempat tinggal sendiri. Hubungan kami yang dekat, tentu saja membuat sedikit banyak hal tentang hidupku diketahui Tommy, termasuk soal Karine.
“Gimana hasilnya?” tanya Tommy begitu aku sampai di hadapannya.
“Harusnya tadi lo nggak telepon dulu, gue kehilangan jejak dia.”
“Jadi, sekarang lo ngelakuin hal yang sama seperti yang lo lakuin lima tahun lalu?”
Aku mengangkat bahu, tak mengerti juga kenapa aku melakukannya.
“Gue cuma pengin tahu. Paling nggak, kalo gue bisa ngelihat apa yang dilakuin Karine sama suaminya. Gue bisa tahu, gimana perasaan Karine ke suaminya.”
“Lo mau jadi detektif, gitu?”
“Gue kan bisa lihat gimana sikap Karine kalo lagi bareng suaminya.”
Tommy tertawa kecil, terlihat mengejek. Ia mengambil sebatang rokok dari kotak dan menyulutnya. Lalu melemparkan kotak rokok tersebut – menawariku.
“Mau sampai kapan begini terus?” komentarnya, kemudian.
Aku mengepulkan asap rokok dan menjawab dengan enteng, “sampai gue dapetin Karine lagi.”
Crazy fool!” ejek Tommy, sadis.
Crazy in love,” jawabku. Tommy melempar korek api gas ke arahku, “Gila lo!”
“Terus apa? Lo kan tahu, Karine itu cinta gue dari SMA dulu. Dari kita masih sama-sama di Bandung.”
“Gue ngerti. Tapi…”
“Nggak ada tapi.”
“Dia udah married, man!”
“Dia nggak cinta sama suaminya.”
Tommy menenggak minuman soda di hadapannya, sebelum melanjutkan.
“Hari gini masih percaya cinta? Lo sendiri kan yang cerita kalo Karine nikah sama suaminya itu cuma demi materi. Kayaknya, duit lebih penting ketimbang cinta buat dia.”
“Nggak. Dia masih cinta gue kok.”
“Apa buktinya?”
“Semalam kita jalan. Dinner, dan dia nginep di apartemen gue. And, we have…”
“Parah!”
Tommy memotong ucapanku yang belum selesai. Aku menghisap rokok lebih dalam, menatap Tommy dengan wajah puas.
“Gila! Isteri orang kali!”
“Itu jadi salah satu indikasi kalo pernikahan Karine nggak bahagia.”
“Gue tahu, lo cinta mati sama dia. Tapi, ngejar layang-layang itu nggak pernah mudah, Ar. Semakin lo berusaha narik layang-layang itu dengan kuat, angin malah ngebawa layang-layang itu tambah tinggi.”
“Gue cuma perlu Karine memutuskan dengan alasan yang jelas dan masuk akal kalo gue emang udah nggak mungkin bersama dia lagi. Kalo cuma alasan dia udah married, itu aja nggak pernah cukup.”
Tommy menenggak lagi minuman soda di hadapannya.
“Oke, gue nggak bisa ngelarang. Tapi man, don’t waste your time by doing something useless!”
Aku cuma diam, mendengar kata-kata Tommy barusan. Tommy bangkit dari duduknya, “Cabut yuk. Ke pameran komputer. Gue perlu beli PC baru buat kantor,” ajaknya. Aku tak menolak kali ini, menurut saja membuntuti Tommy yang sudah lebih dulu melangkah keluar.

* * *

Sebelas tahun yang lalu – ketika segalanya bermula
Juli, 2000. Awal dari segalanya. Ketika aku pertama kali mengenal Karine dalam sebuah kegiatan orientasi siswa di sekolah. Orang bilang, pertemuan pertama yang berkesan seringkali membekas dan tak mudah hilang. Begitulah yang terjadi pada kami. Pertemuan singkat, tapi menciptakan cerita yang panjang kemudian.

Cinta memainkan perannya, tak ada kesempatan sampai kita terjerat dan masuk ke dalamnya.

Jatuh cinta adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan kami waktu itu. Aku tak bisa memungkiri gelenyar yang muncul di dadaku saat kami beradu pandang. Dan meski tanpa pengakuan, aku tahu Karine mengalami hal yang sama. Hubungan yang dekat, akhirnya berubah menjadi ikatan. Kami pacaran.
Minggu, bulan dan tahun. Siapa sangka kami sanggup bertahan demikian lama. Kalau orang bilang cinta monyet hanya sebatas bertemu-jatuh cinta-cemburu-dan akhirnya berpisah, mungkin kami adalah pengecualian. Tiga tahun, bukan masa yang sebentar untuk saling mengenal dan mengerti satu sama lain. Kami saling memahami, kami saling mengerti, termasuk akhirnya kedekatan kami dengan keluarga masing-masing.
Aku mengenal kedua orang tua Karine, seperti Karine mengenal kedua orang tuaku. Hubungan kami baik. Dan sikap mereka sangat ramah setiap kali aku datang ke rumahnya. Aku diterima dengan baik layaknya bagian dari keluarga mereka. Dan hal itu berlangsung sampai tahun ke empat hubungan kami. Ketika kami sudah lulus dari SMA, ketika statusku sudah berubah menjadi mahasiswa dan Karine memilih bekerja di sebuah perusahaan lokal di Bandung.
Entah apa yang terjadi sebelumnya. Entah siapa yang memulai perubahan tersebut. Entah siapa yang awalnya menunjukkan sikap yang tak bersahabat. Aku, tak lagi diterima dengan ramah, tak ada sapaan atau apapun ketika aku berkunjung ke rumah Karine. Sikap Ibunya menjadi dingin, senyumnya perlahan memudar berganti menjadi acuh. Dan yang lebih menyakitkan adalah pertemuan aku dan Karine yang akhirnya dibatasi. Awalnya hanya sebuah alasan yang aku pikir adalah kebohongan. Karine sedang tidak di rumah, Karine sedang sakit, Karine mau ujian, sampai Karine sedang pergi ke rumah neneknya, dan berbagai alasan lainnya.
Dari alasan, sekarang berubah jadi larangan. Perubahan yang demikian drastis terjadi dalam tiga bulan. Dan setelah itu, Karine dan keluarganya hilang entah kemana.
Tak ada yang tahu kemana dan kenapa soal kepergian keluarga tersebut, tetangga dan kerabat sekali pun. Sedemikian tertutup kah keluarga Karine? Tanda tanya yang tak pernah terjawab. Sampai akhirnya kabar itu datang kepadaku. Karine menikah beberapa bulan kemudian, dengan seseorang dari antah barantah. Siapa dia? Tak pernah ada yang tahu. Bahkan undangan pernikahan itu pun tak pernah sampai ke tanganku. Hanya kabar, yang aku dapatkan dari seorang teman.
Pernikahan Karine menghancurkan aku. Siapa yang bisa menerima seseorang yang dicintainya – yang bahkan masih terikat hubungan, menikah dengan orang lain secara tiba-tiba dan tanpa penjelasan. Dunia menjadi gelap bagiku. Aku kehilangan segalanya.
Hari yang sepi.
Waktu yang begitu kosong.
Tak ada suara, tak ada cahaya.
Tahun demi tahun, berlalu tanpa ada sesuatu yang istimewa.
Tapi kemudian aku sadar, bukan dengan cara begini aku bisa mendapatkan cinta Karine kembali. Bukan dengan cara meratapi. Aku harus berdiri, aku harus kembali.

Kehilanganmu membuat aku jadi kuat.

Aku mencari tahu tentang Karine kemudian. Tanpa satu hari pun aku merasa putus asa. Tanpa satu hari pun aku menyerah. Tanpa satu hari pun aku kehilangan harapan.

Demikian aku mencintaimu. Tak ada penghalang, kecuali keraguanku sendiri.

Satu-dua kabar mulai menunjukkan dimana keberadaan Karine. Tahun 2006, dengan kuliah yang belum rampung, aku memutuskan pindah ke Jakarta. Meski tak mengenal siapa pun disana. Meski aku tahu, aku bisa saja mati disana. Tapi ini adalah pilihan. Aku menang, atau kalah untuk selama-lamanya.
Aku melanjutkan pencarianku tentang Karine. Sampai akhirnya, aku bertemu Tommy. Teman yang telah menjadi keluarga dekat akhirnya, yang telah banyak membantuku, yang telah menjadi tempat berbagi cerita.
Hari demi hari. Kehidupan Jakarta yang berat dan penuh beban. Pencarian yang tak kunjung usai. Aku masih belum mau menyerah.
Dan Tuhan menunjukkan segalanya.
Aku melihat Karine secara kebetulan di dekat sebuah pusat perbelanjaan. Cantik, anggun, menawan, dan… penampilannya yang berubah. Ia terlihat mewah. Bukan lagi gadis lugu biasa. Rambutnya ditata dengan indah, pakaian yang dikenakan pasti tidak dibeli di pasar atau penjual baju pinggir jalan. Dan, kendaraan lux berwarna silver yang kemudian mengangkutnya. Aku ingin menghampirinya. Tapi kemudian aku sadar. Ada jarak yang membatasi kami sekarang.
Apakah Karine mau menemuiku dengan keadaan dia yang sudah seperti sekarang?
Langkahku tak pernah sampai. Aku diam, mematung, di tempatku berpijak.

Karena kau langit, dan aku bumi. Tak mungkin kau mau mampir ke hidupku.

Aku berbalik. Pergi.

Karine yang telah berubah. Karine yang berbeda. Tapi cinta tetaplah sama.
Perasaan sakit dan kecewa memotivasiku kemudian.
Aku mulai bangkit.
Aku tak mau kalah.
Aku merintis bisnis.
Aku membangun karirku.
Dan diam-diam, aku terus mencari tahu soal Karine. Mengikuti kemana pun dia pergi. Mendatangi tempat-tempat yang biasa ia datangi. Rumahnya, perusahaan suaminya tempat ia bekerja, salon, tempat ia kumpul bersama teman-temannya. Aku mulai tahu semuanya. Aku tahu siapa suaminya sekarang, pekerjaannya, orang tuanya, mobilnya, semua yang dia punya.
Dia lah Karine yang sekarang. Yang berbeda.
Parlente dan kaya raya.
            Suaminya punya segalanya.
Tapi cinta tetaplah sama.
Aku akan kembali kepadanya, dan menunjukkan padanya bahwa aku sangat pantas untuk dimilki.

* * *


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar