Aku Saja

By Robin Wijaya - Maret 10, 2011

Pagi berawan, matahari tak berani menantang barisan kapas putih di langit yang menghalangi sinar keemasannya. Seorang perempuan berjalan keluar rumah dengan sebuah kado yang dibungkus kertas warna merah muda yang lembut dan pita bersimpul.
Berjalan melintasi teras yang lembab karena embun. Ia memeriksa polesan pada wajahnya melalui cermin kecil. Khawatir riasannya tidak sempurna setelah berjalan mondar mandir di dalam rumah.
Dengan langkah yang tidak terburu-buru ia menggengam kunci mobil. Membuka kunci otomatisnya hanya dengan sekali tekan, masuk ke dalam, menghidupkan mesin dan melaju melintasi jalan. Sebuah pesta pernikahan menunggunya di seberang sana.

* * *


Pesta berlangsung cukup meriah. Sepasang lelaki dan perempuan berdiri di pelaminan. Menerima setiap jabat tangan dan ucapan selamat dari setiap tamu yang datang.
Rona bahagia terlukis di wajah keduanya. Pernikahan adalah hal paling sakral yang diimpikan banyak pasangan. Menjadi akhir dari sebuah perjanan sekaligus awal dari hidup yang baru. Pelabuhan akhir dari pelayaran yang panjang sekaligus langkah baru setelah kapal menepi. Tak heran hanya ada satu kata yang terlontar dari mereka yang telah mengalaminya, bahagia.
Si lelaki dan perempuan bertatapan mata beberapa kali. Saling mengagumi pasangan masing-masing yang tengah berdiri di sampingnya. Mereka cuma mau bilang, aku sangat bahagia hari ini.

* * *


Seluruh pasang mata memandang perempuan cantik dengan gaun yang anggun berjalan melintas di tengah kerumunan.
Gaun hitam panjang yang tersibak menyapu lantai bersanding dengan tata rias dan rambut yang menawan. Tanpa memedulikan orang-orang disekitarnya ia berjalan sendirian mengukir senyum dengan tangan menggenggam kado yang berbalut kertas merah muda dan simpul pita yang cantik.
Langkah nya tidak dibuat-buat, wajahnya yang putih halus dan kulit bak porselen memandang pasangan yang ada di pelaminan. Senyum kecilnya, terlihat punya arti. Ia naik dan memberi sapaan pada kedua orang tua mempelai.
“Selamat ya tante.” Ucapnya.
Yang diberi selamat hanya memandang dengan ekspresi kurang senang.
“Selamat ya Om. Selamat ya…” ia melanjutkan, tak peduli dengan tatapan sinis si orang tua mempelai laki-laki.
Kedua pengantin memandang si tamu yang ‘menarik’ perhatian banyak orang ini. Ia menjabat tangan si lelaki. “Selamat ya, aku ikut bahagia.” Ucapnya.
Beberapa saat mata mereka bertemu, memandang penuh arti. Senyum dari si tamu yang tak berbalas apapun. Kemudian suara si lelaki menjawab pelan, “Terima kasih.” Itu saja.
Giliran ia menyalami si perempuan, mencium pipi nya kanan dan kiri, ketika pipi mereka saling bertemu, sebuah suara berbisik di telinga si perempuan. “Suami mu tampan, jaga dia baik-baik.”
Tak mengerti dengan maksud si tamu, ia hanya mengangguk, mencoba bersikap wajar dan tersenyum meski terlihat sedikit bingung. “Oh, terima kasih ya.”
Si tamu memberikan kado yang ia bawa, mengulum senyum yang tak pernah lepas sambil meninggikan leher nya yang jenjang. Lalu ia turun dari panggung kecil pelaminan. Berjalan tanpa menoleh sedikit pun, dan (kembali) menjadi pusat perhatian.
Tak mencicipi barang sepotong kue pun atau sepiring kecil hidangan, ia berlalu meninggalkan ruang resepsi pernikahan ini. Bisik-bisik tamu lainnya yang membicarakan kehadiran tamu ‘istimewa’ini mengantarkannya pergi meninggalkan gedung. Tujuannya sudah selesai.

* * *


Esoknya. Di sebuah rumah yang teduh dengan pepohonan di sepanjang jalan komplek. Seorang wanita muda memekik keras dari dalam kamar. Seisi rumah dibuat terkejut hingga berlarian menghampiri si pemilik suara yang terdengar histeris.
“Ada apa nak. Kenapa?” Ibu paruh baya itu bertanya pada menantunya.
“Kenapa Sayang?” tanya si suami ikut menghawatirkan sang isteri.
Di lihat nya kertas kado yang sobek-sobek tak karuan. Isi dalam kotak berhambur keluar seperti di lempar begitu saja. Bercampur bersama tumpukan kertas kado lainnya dan sobekan-sobekan amplop yang telah dibuka sebagian dari jumlah yang ada.
“Apa ini? Apa arti semuanya?” tanya si isteri.
Sang suami bingung melihat wajah marah isterinya. Baru 1 hari mereka menikah, kemarahan sudah meledak tak terbendung. Ia menatap ceceran kertas dan beberapa lembar foto yang ada di dekat si isteri. Dan sebuah kertas lusuh yang telah diremas-remas yang ada dalam genggaman si isteri.
Ia meraihnya. Membuka lembar kertas yang hampir remuk terkepal. Dilihatnya dengan seksama. Ini… surat cintaku dengan dia.
Sambil menangis si isteri melempar kotak yang ada dalam pangkuannya dan berlari keluar kamar.
“Nak, kamu mau kemana. Tunggu dulu…” mertua nya mencoba mengejar, berlalu dari kamar. Nafasnya terbuang kesal saat menatap wajah anak nya yang terduduk mengambil kotak yang jatuh dari pangukan si isteri.
Isi kotak yang berserakan itu dikumpulkannya. Satu per satu dilihatnya. Sambil menggerutu kesal ia mengucapkan sumpah serapah kebenciannya pada mantan pacarnya yang memberikan kado itu.
Kado istimewa, berbungkus kertas merah muda dan simpul pita yang cantik. Memuat isi yang membawa bencana. Di dalamnya diisi surat-surat cinta mereka semasa pacaran, foto yang pernah mereka abadikan saat berdua, beberapa di antaranya tentu mengundang emosi karena berisi seorang lelaki dan perempuan yang tengah berpelukan hangat atau berciuman mesra. Dan, satu benda lainnya, inilah sumber dari teriakan histeris si isteri. Sebuah test pack kehamilan, dengan hasil, positif.
“Perempuan sialan!” gerutunya kesal, mencibir sinis si mantan pacar.

* * *


Gaun hitam panjang tergantung di hanger, menggelayut panjang menyentuh lantai. Di tatapnya gaun tersebut lekat-lekat. Perempuan cantik yang duduk di atas tempat tidur dalam kamarnya tak mau membuang pandangan pada gaun indah tersebut.
Saat ia menandaskan alkohol dalam gelas berukuran kecil ponsel nya berdering dengan keras. Ia meraihnya, tanpa menatap nama si penelepon ia tersenyum puas, merasa sudah memenangkan satu babak darinya. Dan sekarang, waktunya mendengar kutukan demi kutukan dari si penelepon tersebut.
“Hallo…” sapanya dengan nada suara dingin.
Senyumnya semakin lebar. Kepuasan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Suara memaki terdengar keras dari earpiece. Mengucapkan kata-kata kasar yang tak pernah enak di dengar apalagi sampai ke hati. Ia tak peduli. Apapun yang dikatakan lelaki dari balik telepon itu tak akan pernah menggoyahkan pendiriannya apalagi menyesali semua yang telah ia lakukan.
Ketika telepon di tutup, ia tertawa keras. Merasa puas. Tapi menangis pilu setelahnya. Suaranya terisak. Sambil menyeka tetes air mata yang melunturkan riasan wajahnya, ia mengirim pesan singkat kepada si penelepon.

Aku tidak pernah rela kau dimiliki orang lain. Sesuai janjiku, aku datang untukmu dan keluarga barumu.

* * *


Kau tidak pernah tahu sakitnya sebuah kehilangan. Ketika mendengar nama orang lain terucap lewat mulut yang selama ini mengucapkan kata-kata indah, aku hampir mati rasanya. Sakit, menyayat, bahkan lebih perih dari dilukai silet ataupun pedang.
Demi Tuhan. Tak ada yang lebih abadi selain cinta yang kumiliki. Lalu kenapa kau pergi? Begitu saja. Setelah semua yang pernah kita alami dan pernah saling kita katakan sebagai sebuah janji. Kubilang kau gila, saat memilih perempuan yang tak lebih cantik dariku, tak lebih sempurna dariku, tak lebih dalam banyak hal dariku. Kenapa?
Dan aku makin hancur saat aku tahu tubuhku mengandung cinta yang kau tanamkan. Seorang calon bayi yang mungkin akan lahir tanpa ia tahu kenapa ia ada. Karena dosa kita berdua. Karena mulutmu yang terlalu manis untuk membuatku menyerahkan segalanya.
Sumpah, demi Tuhan! Aku tidak rela. Tidak akan pernah. Kalaupun kau harus bahagia. Aku tidak ingin kau memilikinya bersama orang lain. Aku hanya ingin kau memilikinya dengan aku. Aku saja. Bukan yang lainnya.
Demi Tuhan. Aku akan membawamu pulang kembali. Kau hanya akan memiliki aku. Aku saja. Itu janjiku.



Cerita ini adalah salah satu kisah dalam buku "Tulisan di atas Pasir"
penasaran dengan cerita lainnya?
order segera di www.leutikaprio.com
atau inbox ke FB saya : robinsharonanggia@gmail.com

  • Share:

You Might Also Like

3 komentar