Review: MEMILIKIMU by Sanie B. Kuncoro

By Robin Wijaya - Juni 10, 2012


Saat memejamkan mata, aku membayangkan surga—bahagia saat dicintaimu, juga saat mencintaimu. Semuanya terasa begitu indah, terasa sempurna. Seperti cerita cinta sepanjang masa, aku bersyukur takdir membuatku jatuh cinta padamu.

Namun, semakin lama mata ini terpejam, air mata malah jatuh perlahan-lahan. Aku menangis, kini teringat setiap perih yang ditorehkan dustamu di hatiku. Tak sekali dua kali aku mencoba membuat pembenaran, menciptakan alasan bahwa kau mungkin tak bersungguh-sungguh melukaiku. Kau bahkan tak mencoba membela dirimu. Kau menundukkan kepala, membisu.

Dan kini, lihat, aku menertawakan diriku sendiri. Betapa ironisnya hidup ini, sayangku. Kau yang selalu bisa membuatku tertawa justru yang paling bisa membuatku menangis.


Sudah berbulan-bulan novel ini ada di rak buku. Minggu-minggu pertama, buku ini nyaris tidak pernah saya sentuh. Alasannya cuma karena setelah membaca 1 bab pertama, saya merasa bahasa yang digunakan penulis cukup berat, dan waktu itu saya sedang ingin menikmati bacaan ringan.

Tapi kemudian saya tergelitik ketika tanpa sengaja melihat tweet yang di-post-kan oleh akun GagasMedia yang mengatakan kalau salah satu kru Bukune ada yang sampai menangis setelah membaca novel ini. Jadilah saya mengambil buku ini dan mulai membaca dan berniat untuk betul-betul mengetahui keseluruhan isi ceritanya. Dan... saya harus bilang "tidak banyak buku yang bisa membawa saya terhanyut dalam emosi, dan buku ini adalah salah satunya"

Tidak perlu membahas soal Samara, Anom dan Lembayung di sini. Kalau mau tahu, cari saja reviewnya yang banyak bertebaran di google search dan goodreads. Yang jelas, pilihan gaya menulis adalah hak dari penulis itu sendiri. Dan itu pula lah yang kemudian meyakinkan saya untuk tidak perlu terpusingkan soal diksi dan penggunaan simbol-simbol dalam setiap kalimatnya. Saya hanya perlu menikmati ceritanya.

Yang tahu kalau saya penyuka puisi-puisi Andrei Aksana serta gaya bertutur Sefryana Khairil, Winna Efendi, Morra Quatro atau Tere Liye. Pasti mengerti juga kenapa pada akhirnya saya menyukai buku ini.

'Kata' mampu menggetarkan hati begitu kuat. Imajinasi yang muncul di kepalamu ketika membaca kadang terasa lebih nyata ketimbang kilasan gambar bergerak dalam film.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar