Autisme: Cerita Dari Balik Ruang Kelas

By Robin Wijaya - Februari 24, 2013



Sepertinya saya lebih banyak sharing tentang buku dan menulis (selain rajin posting kalimat-kalimat galau tentunya), dan bisa jadi ini adalah artikel pertama saya tentang satu bidang pekerjaan yang sebetulnya telah lama saya geluti, bahkan lebih lama dari karir menulis saya.

Siang tadi saya menonton tayangan Kick Andy di MetroTV. Ada pembahasan menarik yang kemudian memancing saya untuk berbagi setidaknya tentang pengalaman saya selama mengajar.

Ini tentang autisme. Dan apa yang saya tonton dalam tayangan tersebut, cerita tentang Yansen yang dikeluarkan dari sekolahnya karena keterbatasan yang dia miliki mengingatkan saya pada momen dimana saya pernah bersinggungan dengan kasus yang sama. Ini cerita dari balik ruang kelas.

Kita tidak akan membahas pengertian tentang autisme, teman-teman bisa baca di http://www.autism.org.uk/about-autism/autism-and-asperger-syndrome-an-introduction/what-is-autism.aspx atau http://www.autismspeaks.org/what-autism untuk penjelasan soal autisme sendiri.

Seperti yang terjadi pada Yansen di Kick Andy Show. Sekolah tempat saya mengajar pernah mengalami kejadian serupa. Sebut saja murid saya ini dengan initial K. Dengan kondisi serupa, karena keterbatasan yang dimilik K, dan dengan alasan menggangu lingkungan sekolah dan teman-temannya, K dikeluarkan dari sekolah. K berada di usia TK waktu itu. Setelah dikeluarkan, orang tuanya mencari sekolah baru untuk K. Tapi dari beberapa sekolah yang didatangi, semuanya menolak dan menyatakan tidak bisa. Sampai akhirnya K datang ke sekolah kami.

Terjadi diskusi yang cukup panjang saat K mendaftar di tempat kami. Beberapa guru menyatakan menolak, termasuk kepala program TK. Academic Director lah yang meyakinkan untuk menerima K dengan alasan "kita tidak bisa memilih murid mana yang mesti datang, dan pekerjaan untuk menjadi guru adalah amanah". Singkat cerita, K masuk sekolah kami, dan... K ditaruh di kelas saya.

Saya hanya tahu autisme sebagai teori, bukan praktek. Yang saya tahu tentang autisme adalah berita yang masuk ke telinga, bukan yang saya lihat dengan mata dan saya alami secara nyata. Seminggu pertama K di kelas, saya stress!

K ini punya kesulitan interaksi dan komunikasi. Dia tidak bisa mengekspresikan perasaannya. Apa itu marah, kecewa, senang, kesal terlihat seperti abstrak bagi K. Yang dia tahu hanya memukul, meludah, bicara ngelantur (dalam ingatan saya pun itu kalimat iklan dan sinetron), atau menangis. Bahkan K tidak bisa menceritakan kejadian apa yang baru 5 menit lalu dialaminya.

Jangan berharap bisa memperlakukan K seperti murid-murid lainnya. Duduk menasehatinya, atau menulis dan menggambar dengan sukacita. K bisa duduk anteng saja, senangnya sudah luar biasa. Singkat cerita, kami melatih K untuk bisa mengekspresikan perasaannya dan berkomunikasi (meskipun tidak selalu berhasil) dan tentunya latihan mengikuti pola/ keteraturan di kelas.

K belajar 2 tahun di sekolah kami. Bukan waktu yang sebentar, dan ini jadi pencapaian yang baik mengingat setelah itu datanglah murid-murid baru dengan kebutuhan penanganan khusus yang kurang lebih mirip dengan K (masalah autisme).

Yang disebut dengan ujian naik kelas, tampaknya juga berlaku. Setelah K, kami mendapat murid-murid dengan tingkat penanganan dan tantangan yang terus bertambah. Tapi semakin lama, semakin terasah dan terlatih pula skill guru-guru yang menanganinya.

Well... setelah mengajar K, apakah sulit mengajar anak-anak autis? Tidak ada yang betul-betul sulit, mungkin kita hanya tidak terbiasa dan kurang tahu caranya. Dan, nomor satu bagaimana hati kita menerima mereka sebagai murid. I don't think that I'm an angel. Sebagai manusia biasa, saya pun frustasi, marah, dan sering bilang menyerah saat mengajar K. Tapi kemudian saya mengerti, K adalah modal pertama saya untuk menangani murid-murid baru di tahun-tahun setelahnya. Dan hal ini tentu juga berlaku untuk murid-murid lainnya dengan atau tanpa keperluan penanganan khusus.

Saya juga selalu menanamkan dalam kepala, kalau hal baik dan buruk bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja, termasuk pada diri kita. What if, you have a kid with autism, and no one can accept him/ her? Apa yang diceritakan orang tua Yansen, dan orang tua K hanya lah satu sample kecil dari banyak kasus di luar sana.

Penerimaan terhadap mereka yang dianggap berbeda semestinya tak harus secara berbeda pula. Saya sering mendengar cerita dari Academic Director saya yang mengambil sekolah psikologi anak dengan kebutuhan khusus di Singapura. Dia bercerita, bagaimana anak-anak tersebut mendapat perlakuan yang sangat baik oleh masyarakat umum. Beberapa bahkan diberikan pekerjaan magang sesuai kemampuannya. Bukan berarti masyarakat di sana bersih seratus persen. Saya yakin, tindakan diskriminatif selalu ada. Tapi apa yang lebih baik selain mencontoh tindakan yang baik?

Satu hal menarik lainnya yang dibahas di Kick Andy adalah mengenai penyembuhan dan penularan autisme. Dokter Melly Budiman yang menjadi narasumber di Kick Andy menyebutkan dengan jelas autisme bukanlah penyakit. Mungkin cukup telat bagi kita mengetahui ini mengingat banyak sekali artikel yang sudah diterbitkan mengenai bentuk kelainan ini (bisa baca juga di http://topartikel-kesehatan.blogspot.com/2012/01/apakah-autisme-penyakit-menular.html dan http://rajanathan.wordpress.com/). Tapi toh, selama masih ada perlakuan 'miring' terhadap anak-anak ini, tidak pernah telat untuk membahasnya sama sekali kan?

Indonesia sendiri sudah punya banyak yayasan, sekolah dan care center yang menangani anak-anak autis. Sebut saja Yayasan Autisma Indonesia dan MPATI, mereka salah satu yang terbesar. Someday, semoga masyarakat kita punya pandangan dan sikap yang lebih luas terhadap anak-anak dengan autisme atau anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya.

Kembali ke pokok pembicaraan mengenai mengajar. Ini bukan lagi soal siapa dan profesinya apa. Saya juga tengah mencoba untuk komitmen berbagi hal positif dari pengalaman saya dan teman-teman di dunia mengajar (lagi, selain berbagi quote dan bacaan romantis ya dear readers). Tapi satu hal yang penting, jika kita punya perlakuan dan sikap yang baik, kita bukan hanya sedang menolong orang lain dengan sikap tersebut, sesungguhnya kita juga sedang menolong diri kita sendiri :)


End

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar