Di Musim Ke Empat Itu...

By Robin Wijaya - Juli 26, 2013

I owe the picture here


Kita selalu merasa bahwa janji adalah satu kata yang mesti ditepati.
Dan untuk hal itu, aku sama setujunya denganmu.
Maka di musim ini, ketika pagi tak lagi mau menunggu.
Aku memutuskan untuk memenuhi janji tersebut.

Kamu selalu tahu, waktu terbaik bagi kita adalah ketika matahari berarak pergi.
Satu musim dimana segala warna menghangatkan malam yang dingin.
Senja...
Seperti aku menyebutnya begitu.

Tapi apakah kamu tahu?
Bahwa di balik kebahagiaan, selalu ada duka yang bersembunyi.
Tangis yang mungkin mencuri tawa di antara kita.
Ketika waktu itu tiba, sanggupkah kita tetap percaya?

Kamu juga selalu tahu, selalu ada alasan yang membawa manusia pada perubahan.
Jika nanti, senyummu berubah menjadi tawa sedih.
Jika nanti, pelukanku berubah menjadi dingin.
Masihkah kau percaya pada janji?

Mungkin saja setelah itu segalanya kembali menjadi baik.
Mungkin saja matahari yang tenggelam tak berarti mengakhiri cinta yang hangat.
Dan mungkin saja, kita masih tetap saling percaya.

Jika kamu merasakan hal yang sama.
Jika janji adalah satu-satunya alasan yang membuat kita tetap percaya.
Maka tunggu aku...
Di musim ke empat itu,
mungkin saja... cinta kembali bertemu.


Puisi ini adalah teaser untuk kisah Marla dan James dari novel ROMA yang akan dimuat di blog saya dalam format cerita bersambung. Semoga bisa menjawab tanda tanya teman-teman tentang cinta-cinta yang belum terungkapkan di ROMA.
Tunggu tanggal publishnya di bulan Agustus ini.

NIGHTFALL
 satu senja di Seattle... 

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar

  1. Bagaimana jika di musim keempat itu, aku dan kamu bukanlah kita yang dulu?
    Kamu hanyalah kamu.
    Dan aku, masih menunggu dengan janji ditanganku.
    Bisakah kamu menatap mataku, dan mengatakan sudahlah cukup penantianku di hari itu?

    BalasHapus