NIGHTFALL - Satu Senja di Seattle #1
By Robin Wijaya - Agustus 04, 2013
Ada hal-hal yang kadang memerlukan
pertimbangan berkali-kali sebelum diputuskan. Dan Marla tahu, undangan yang ditulis
James dalam buku yang diberikannya saat di Roma beberapa bulan lalu adalah
salah satu yang memerlukan pertimbangan tersebut.
Marla belum menemukan alasan kuat yang
harus membuatnya terbang puluhan jam ke sebuah kota di benua Amerika. Tapi ia
juga tidak menemukan alasan pasti untuk menolak undangan tersebut. Bukankah itu
hanya sebuah undangan? Mungkin tawaran kunjungan, pertemanan, atau sebuah
pengalaman baru. Meski demikian, Marla masih benar-benar ragu soal keputusan
yang akan ia ambil.
James pria yang baik. Begitulah image yang Marla tangkap tentang sosok
lelaki tersebut. Terlepas dari pekerjaannya sebagai kurator, James punya
sisi-sisi lain yang menyenangkan ketika mereka bertemu di Roma dulu.
Beberapa kali Marla duduk semeja
dengan James saat makan malam. Atau pergi menyusuri jalanan Roma yang terik di
musim panas kali itu. James adalah tipe peramu obrolan yang tak menjemukan.
Satu hal tersebut yang kadang membuat Marla ingin bertemu dengannya lagi.
Buku pemberian James tersemat rapi di
kamar Marla. Ia meletakkannya di atas nakas, berdampingan dengan lampu meja
berbentuk botol yang pendarnya jatuh ke sampul muka buku tersebut ketika malam.
Sesekali, di tengah keraguannya, Marla membuka lembar pertama buku tersebut dan
menemukan tulisan tangan James di sana.
I’d love to spend the days with you
someday.
Will you?
James Calvert
Seattle, 23-06-2010
Dan seperti yang pernah ia batinkan
dulu ketika lembaran pertama tersebut terbaca, mungkin saja ia akan terbang ke
sana. Mungkin. Dan kata mungkin tersebut tak pernah jadi sebuah kepastian tanpa
keputusan.
* * *
Pagi ini selepas mengepak
koran-koran bekas, Marla bergegas membersihkan diri. Ia berniat pergi ke rumah
Leo. Ada beberapa barang miliknya yang mesti diambil dari rumah mantan kekasihnya
itu. Sebetulnya, Leo sedang tidak di rumah karena ada urusan tur pameran seni.
Tapi hal itu tak jadi soal karena ia masih memegang satu set kunci rumah
tersebut. Lagipula, mungkin lebih baik jika ia datang tanpa melihat keberadaan
Leo di sana. Marla memang sudah mengikhlaskan segalanya, termasuk kandasnya
hubungan ia dan Leo di Roma. Tapi bukankah selalu ada perasaan getir yang
menyertai setiap kali kita patah hati? Marla hanya tak ingin bayang kesedihan
itu muncul tiba-tiba. Karena, biar bagaimana pun, ia yang memutuskan untuk
menyudahi hubungan tersebut lebih dulu.
Lalu lintas Jakarta cukup
bersahabat mengantarkan Marla sampai di sebuah rumah dengan desain arsitektur
lama yang belum dipugar. Meski umurnya tak lagi muda, rumah ini sama sekali
tidak menunjukkan gurat wajah yang lelah.
Marla segera memasukkan anak kunci
dan membuka pintu rumah Leo. Udara di dalam ruangan yang terasa lebih dingin
menjelaskan sudah berapa lama rumah ini tak dihinggapi penghuninya. Gorden berwarna
hijau pucat disingkapnya, membiarkan cahaya matahari menerobos jendela kaca
yang mulai buram. Marla menggeleng perlahan, ia mengeluhkan sikap acuh Leo yang
tak memedulikan kerapihan dan kebersihan rumah. Tapi di balik itu, seulas
senyum kecil mengukir. Marla tahu, itulah Leo, dan ia sangat memahami sikap
lelaki tersebut.
Setelah beberapa jendela dibuka,
dan lampu di ruang tengah dinyalakan, Marla mulai mengumpulkan
barang-barangnya. Beberapa potong pakaian, sweater rajut, juga buku dan majalah
yang pernah tinggal di rumah ini ia ringkas ke ruang tamu. Marla menyiapkan
kotak karton besar untuk mengangkut barang-barang tersebut. Setelah selesai, ia
menjatuhkan tubuhnya di sofa, menyelonjorkan kaki dengan santai sambil menarik
nafas panjang. Sepertinya semua sudah selesai, pikirnya.
Lebih dari sepuluh menit Marla
terdiam di sofa bermotif bunga dengan garis-garis warna yang lembut. Sofa ini… dulu Marla yang memilihkannya
untuk Leo. Di bulan-bulan pertama hubungan mereka, Leo meminta Marla
menemaninya pergi ke toko furniture untuk mengganti kursi kayu milik kakeknya.
Kursi tua tersebut dipindahkan ke teras belakang karena Leo ingin sebuah ruang dengan
tempat duduk yang lebih nyaman.
Awalnya Leo memilih sofa berbahan suede leather berwarna cokelat gelap.
Tapi Marla bilang, kehidupan Leo akan bertambah gelap dan datar dengan pilihan
tersebut. Selama ini rumah Leo terkesan plain.
Tidak ada ornamen atau hiasan yang mempercantik ruangan kecuali benda-benda
seni hasil barter dengan teman-teman sesama perupa. Marla pernah mengusulkan
kepada Leo agar melapisi semua ruangan dengan wallpaper. Paling tidak, Leo perlu membuat matanya lebih teduh
dengan suasana rumahnya sendiri. Tapi Leo menolak. Jadi, Marla pikir, ia perlu
melakukan sebuah perubahan dan hal itu dimulai dengan sofa pilihan Leo. Pada
akhirnya, Marla mengganti pesanan Leo, dan sofa bermotif bunga itu yang kini
tersemat di ruang depan.
Marla masih mengulum senyum, walau
hanya sekilas.
Hei… kenapa mesti mengingat-ingat masa lalu? Pikirannya menegur apa
yang ada dalam hatinya sendiri sekarang.
Bodoh. Bukankah segalanya sudah berakhir? Jadi, tidak ada alasan untuk
mengenang segala sesuatu yang terjadi, bukan? Bahkan jika kenangan itu terasa
manis sekalipun.
Marla bergegas bangkit dari
duduknya. Ia menatap ke sekeliling rumah. Ruangan ini, pemandangan ini, bau
udara yang ia cium dan suara gemersik daun di luar rumah. Segala sesuatu yang
begitu akrab dengan dirinya selama dua tahun terakhir.
Pikiran Marla kembali terjerembab
ke masa lalu. Ia mengingat lelaki itu. Leo…
Marla menyebut namanya di dalam hati.
Ahh… dua tahun bukan waktu yang sebentar, bukan?
Dan Marla berusaha menyadarkan
dirinya sekali lagi. Kalau ia perlu melangkah segera meninggalkan jejak
kenangan di belakang.
Ia segera mengangkat kotak berisi
barang-barangnya yang sudah dikemasi. Melangkah ke luar rumah dan meletakkannya
ke dalam mobil. Setelah menutup semua jendela dan gorden serta mengunci pintu
depan, Marla pergi ke bengkel kerja.
Lukisan-lukisan Leo berderet di
sana. Sebisa mungkin Marla tak ingin menjelajahinya lagi satu persatu. Ia berusaha
fokus pada tujuan yang ingin dicapainya.
Di genggamannya, set kunci rumah
Leo terikat rapi dalam simpul. Marla sadar, segala sesuatu yang dimilikinya
yang masih berkaitan dengan Leo akan terus merantainya pada kenangan lalu. Dan kunci
ini juga kesempatan untuk datang ke rumah ini kapanpun ia mau, hanya akan
memberinya peluang untuk melebarkan luka tersebut. Jadi, ia harus menyudahinya
sekarang.
Marla meraih toples kaca di rak
besi. Ia memasukkan kunci-kunci tersebut ke dalamnya, lalu meletakkannya di
samping palet dan tumpukan kuas. Selembar kertas putih diambilnya. Ia
menuliskan pesan untuk Leo. Semua kunci rumah ia kembalikan pada pemiliknya.
Setelahnya, Marla pergi
meninggalkan bengkel kerja. Dari dalam mobil, ia menengok ke arah dua bangunan
tersebut sekali lagi.
I was here… batinnya. Goodbye
Leo.
* * *
Cahaya di ruang makan ini
remang-remang. Bayangan Marla terpantul lewat cermin besar di samping pintu
kamarnya. Ia menyesap teh hangat berkali-kali. Gerimis di luar membuat suasana
semakin sunyi. Marla menatap potongan-potongan kaca dan pekerjaannya yang belum
selesai. Lis timbel tergeletak di dekatnya. Ia sedang mengerjakan pesanan untuk
sebuah gereja di bilangan Jakarta Barat. Gereja Katolik yang terletak di dalam
komplek perumahan. Pengerjaannya baru selesai enam puluh persen. Kusen-kusen
kayu akan membingkai hiasan kaca patri Marla begitu kolase-kolase ini selesai.
Waktu belum bergegas malam. Kemungkinan
ia akan melanjutkan pekerjaannya sampai pukul sebelas atau dua belas malam. Lalu
pergi tidur dan bangun kembali esok paginya untuk aktifitas yang sama. Sejenak,
ia memikirkan sebuah pola yang telah menjadi rutinitas. Oh, betapa hidup mulai
terasa membosankan. Memang, proyek yang dikerjakannya tak selalu sama. Tapi ketika
tak ada sesuatu yang baru untuk dilakukan, Marla merasa jenuh pasti segera
hadir.
Marla menghela nafas. Ia meletakkan
cangkir teh. Suara denting antara cangkir keramik dengan tatakannya menjadi
redam di tengah hujan. Ia berdiri di hadapan hiasan kaca patri yang belum
selesai. Ia ingin melanjutkan pekerjaan tersebut, tapi bukannya duduk dan
kembali bermain dengan lis timbel, kakinya malah melangkah pergi ke dalam
kamar.
Lampu di atas nakas memendarkan
cahayanya, buku tersebut masih ada di sana. Marla mengambilnya dan membukanya
lagi untuk ke sekian kali.
James Calvert.
Marla meraba tulisan tangan
tersebut. Ia tak mungkin terus-menerus begini. Ia harus membuat keputusan.
Marla merebahkan dirinya di atas
tempat tidur, buku tersebut jatuh ke dadanya. Ia memejamkan mata, menimbang
keputusan yang akan dibuat saat membuka mata esok pagi.
* * *
“Tidak bisa. Aku tidak mau memaksa
seseorang mensponsori acaramu jika struktur panitia dan materi ekshibisinya
belum rapi.”
James menyesap kopinya perlahan. Lelaki
pirang di hadapannya mengurut kening, ia belum berhasil merayu tuan Calvert
ini.
“Tapi kau punya banyak rekanan,
kan? Kita bisa memulainya lebih awal, mencuri start. Sambil aku menyusun segala
sesuatunya,” jelas si lelaki pirang, mencoba merayu James sekali lagi.
“Hey, dengar ya. Kau pikir kita
sedang membuat karnaval sekolah? Mengundang orang tua datang dan berdiri di
luar tali pembatas sambil melambai-lambai buat anaknya? Kita ini sedang
menggagas proyek seni, mereka yang akan datang adalah pecinta seni, orang-orang
melankolis yang menghargai setiap sentuhan sentimentil, bahkan untuk sesuatu
yang sangat kecil sekali pun.”
“Aku mengerti Mr. Calvert. Tapi
apakah―”
“―lupakan ide besar yang kau lakukan
dengan cara terlalu sederhana. Lebih baik kau menciptakan sebuah ide yang
sederhana dan lakukan dengan cara yang besar.”
James mengangkat cup kopinya dan melangkah meninggalkan si lelaki pirang. Ia tahu,
di belakangnya, si lelaki pirang tengah mendengus kesal karena James menolak
membantunya mengerjakan proyek seni ini.
Baiklah, James bukan tipe pria kasar
atau orang yang pelit berbagi waktu dan ilmu. Ia bahkan rela menjadi volunteer untuk sesuatu yang sangat
disukainya. Tapi gagasan yang baru diajukan si lelaki pirang adalah sebuah
proyek besar yang mestinya digarap dengan professional, bukan asal-asalan
seperti… karnaval sekolah yang James sebut tadi misalnya. Malah yang ia tahu,
karnaval sekolah pun diadakan dengan kerja yang sangat baik oleh tim guru dan
sekolah. Jadi, James pikir, ia perlu memberi waktu kepada lelaki itu untuk
berpikir lagi dan mengerjakan bagian awal proyek seninya dengan lebih baik.
James menutup pintu kaca kantor
kecil yang baru ditinggalkannya. Ia menyusuri barisan panjang bangunan yang
berjajar di tepi jalan menuju sebuah kedai kopi yang telah menjadi salah satu
bisnis waralaba terbesar di dunia.
Barista menyapa kedatangan James. Ia
memesan kopi langganannya dengan dua pump
gula yang selalu jadi takaran pasti. Logo besar Starbucks dengan warna hijau-putih menjadi latar gerakan si barista
yang sedang menyiapkan kopi pesanan James. Ia mengamati logo tersebut, James
senang mereka-reka simbol dan logo. Mencermati filosofi di baliknya, hingga
sejarah yang kemudian berkembang dari simbol tersebut. Terlebih untuk logo
kedai kopi ini. Senang rasanya bisa menikmati racikan kopi dari tempat dimana
kedai ini dilahirkan di kota aslinya sebelum menjelajah belahan dunia yang lain.
Sambil menikmati kopinya, James
pergi ke salah satu kursi tinggi di dekat jendela. Dari sini James bisa
menikmati lalu lalang orang dan kendaraan di luar. Sesekali ia mendongakkan
kepalanya ke arah langit. Siang yang cerah, mengingat Seattle selalu
diidentikan dengan hujan.
James merogoh saku blazer-nya. Ponsel tipis itu menampilkan
dua pesan yang belum terbaca. Ia membukanya satu persatu. Dari Louis, dan Louis
lagi. James tertawa saat membaca pesan tersebut. Louis adalah teman James dan
dia memohon pada James untuk membantu menjual anak-anak anjingnya. Louis
memiliki seorang isteri yang bukan tipe penyayang binatang sepertinya. Beberapa
kali isterinya itu menyampaikan orasi soal anjing-anjing peliharaan Louis yang
memenuhi rumahnya seperti sebuah kandang. James bilang, mestinya Louis menyewa
satu rumah lagi untuk anjing-anjingnya itu, dan mestinya isterinya itu sadar betul
kalau populasi anjing di Seattle mengalahkan jumlah anak kecil. Kecuali mereka
berada di negara bagian lain.
James melihat-lihat list panjang contact person di ponselnya. Meskipun ia
sudah meledek Louis soal anak-anak anjingnya itu, sebagai teman James tetap
berniat membantu untuk membantunya. Deret panjang itu belum memberikan hasil
apapun. James menebak lewat feeling-nya
kalau si A atau si B belum berencana menambah ‘momongan’, atau mungkin ia bisa
menawarkannya lain waktu. Jadi, James memutuskan untuk melewatkan hal tersebut.
Langit sore di Seattle masih cukup
cerah. Jari jemari James terampil menggesek layar sentuh, ia membuka-buka fitur
lain di ponselnya. Dan tanpa perencanaan lebih dulu, James malah membuka
layanan mail dan office. Ia tak punya niat untuk memeriksa pekerjaan atau
pesan-pesan yang berkaitan dengan dunia kerjanya di sore hari begini. Tapi ketiadaan
rencana itu pula lah yang kemudian malah mempertemukannya dengan sebuah kabar
dari seberang laut sana.
James menajamkan pandangannya. Keningnya
berkerut, tapi segera saja ia membuang nafas lega. Seperti menemukan sesuatu
yang sudah begitu lama dinantinya.
Ada sebuah surat dari seorang
perempuan bernama Marla. Dari Indonesia. Sebuah kabar. Dan dengan penuh harap
James membaca barisan kalimat dalam email tersebut.
“Dia akan datang?” bisik James,
bertanya pada keyakinan dirinya sendiri.
Dia menyeringaikan tawa gembira.
Dan siapapun yang mengenal James
pasti akan berkata, kalau dia tidak pernah terlihat segembira ini.
* * *
(bersambung)
(bersambung)
2 komentar
Berharap Marla gak kelamaan ngegalauin Leo... Lebih pengin baca dia ngegalauin James, hehehe ;)
BalasHapusBerharap 1 minggu kemudian..
BalasHapusPenasaran lanjutannya koh :D