Marla Sebastian adalah tipe orang
yang sangat mudah tersentuh hatinya. Orang-orang yang mengenalnya setuju kalau
untuk meluruhkan hati Marla bukanlah sesuatu yang sangat sulit. Marla bukan
tipe orang kaku yang sulit digoyahkan. Dan perasaannya yang lembut itu kerap
kali membuat ia mengiba pada hal-hal sentimentil. Tapi jika Marla mengubah
destinasi tujuannya yang semula datang ke Seattle untuk bertemu James, bukan
semata-mata karena sifatnya itu.
Marla dan Benjamin punya kisah
tersendiri dulu. Jauh sebelum bertemu Leo terlebih James, Ben adalah lelaki
yang pernah mengikat hubungan dengannya. Marla dan Ben dipertemukan di sebuah
kegiatan sosial yang diadakan gereja. Ben adalah jemaat yang aktif, dan kerap
terlibat pelayanan. Dan seperti halnya Ben, Marla sendiri sudah lama terdaftar
sebagai pengajar sekolah minggu. Lalu pada satu kesempatan, mereka bertemu dan
menjadi dekat.
Hubungan Ben dan Marla adalah
kisah cinta yang manis. Ben yang baik dan menyenangkan melengkapi Marla yang
tenang dan penyabar. Mereka terikat sebagai kekasih hingga setahun lamanya.
Ketika Ben harus pindah ke
Richland bersama keluarganya, ketika itu pula lah hubungan mereka menuju titik
kritis. Sulitnya menjalin hubungan jarak jauh juga jumlah kedatangan Ben ke
Indonesia yang tak selalu bisa dipastikan. Marla pun memutuskan menyudahi
hubungan tersebut.
Lama tak ada kabar dari Ben
setelah itu. Hingga empat tahun yang lalu, Marla mendengar kabar kalau Ben
bertunangan dengan seorang perempuan di Richland dan merencanakan sebuah
pernikahan. Saat itu lah Marla meyakinkan dirinya kalau Ben telah menjadi masa
lalu baginya.
Putus dari Ben tidak membuat Marla
mudah mendapatkan sosok yang bisa menggantikan lelaki tersebut. Hampir dua
tahun hingga ia bertemu seorang pelukis bernama Leonardo Halim. Seperti kisah
cintanya yang terdahulu, kali ini pun hubungan tersebut kandas. Marla
mengakhiri hubungannya dengan Leo di Roma. Dan di kota itu pula lah kemudian ia
bertemu James Calvert, promotor pameran seni yang mengundangnya datang ke
Seattle.
Meskipun kisah cintaya bersama Ben
tidak berakhir dengan manis, masa lalu seharusnya tetap tertinggal di belakang.
Ia tak mau bersikap dingin pada Ben hanya karena lelaki itu menikahi perempuan
lain. Lagipula, sudah sangat lama Marla tidak bertemu Ben dan kedua orang
tuanya. Mungkin sebuah pertemuan sebagai teman lama bisa memperbaiki
hubungannya dengan Ben. Seattle dan Richland yang hanya berjarak beberapa jam
saja lewat jalur darat tentu tak akan disia-siakan Marla. Ia menghubungi Ben
dan mengabarkan kedatangannya ke Seattle dan rencana kunjungannya ke Richland.
Tapi siapa sangka, telepon yang dituju malah diterima oleh orang tua Ben.
Untuk pertama kalinya setelah
bertahun-tahun akhirnya Susan mendengar suara Marla kembali. Susan tak bisa
mengabulkan keinginan Marla untuk bicara pada Ben karena kondisinya yang
seperti itu. Melalui hubungan telepon itu pula, Susan memberi tahu Marla
tentang Ben dan memintanya untuk menengok Ben ke Richland lebih dulu.
Marla tak sampai hati untuk
menolak, tapi janjinya pada James sama sekali tak bisa dilanggar. Marla memohon
agar Susan mau menunggu sampai dua atau tiga hari setelah ia bertemu James
lebih dulu. Tapi Susan bilang, mungkin Ben tak akan bisa menunggu.
Nada suara Susan seperti sedang
menahan tangis ketika menceritakan semuanya. Dengan terbata-bata, akhirnya
Susan melengkapi tanda tanya di kepala Marla ketika pembicaraan mereka di
telepon berakhir.
ayangan tentang kondisi Ben
membuat Marla mengiyakan permohonan tersebut. Ia menghubungi biro pelayanan
perjalanan, meminta keberangkatan lebih awal. Sebuah permintaan yang cukup
sulit, tapi sepertinya keajaiban berpihak pada Ben. Marla naik penerbangan
pertama hari itu. Beberapa jam lebih awal. Sampai di Seattle juga lebih awal.
Dan Joseph yang merupakan kerabat Ben datang menjemput Marla di Sea-Tac dan
membawanya ke Richland.
Janji dengan James begitu penting,
tapi hal yang menyangkut kondisi Ben saat ini jauh lebih penting. Marla tahu
mungkin ia sudah membuat James kecewa. Lelaki itu pasti menungguinya di
airport. Dan kekecewaan James pasti akan bertambah besar karena Marla tak
mengabarinya. Marla ingin menyelesaikan urusannya di Richland selesai lebih
dulu. Ia tahu ini salah, tapi sudah terlanjur terjadi dan ia tak punya kuasa
untuk mengubahnya.
Dan sekarang, Marla harus
menghubungi James karena ia tahu lelaki itu pasti telah menunggu kabar darinya
sejak kemarin. Marla meminjam telepon milik Susan untuk menelepon nomor yang
ditinggalkan James melalui surat elektroniknya. Perlu waktu beberapa saat
hingga James menerima panggilannya itu.
“James? It’s me, Marla.” Suara Marla menggantung di udara selama sekian
detik.
“Maaf sudah membuatmu khawatir
karena tidak mengabarimu lebih dulu.”
“James… aku di Richland sekarang.”
* * *
“Dia di Richland.” James baru saja
menutup percakapannya dengan Marla. Sarah yang berada di depannya menatap
heran. Marla berada di Richland? Apa yang dilakukan perempuan itu di sana?
“Dia memberi tahumu barusan? Kapan
dia datang? Kenapa tidak langsung ke sini?” Sarah memberondong James dengan
banyak pertanyaan. Ini dan itu. Seolah-olah, Sarah lah yang sedang menunggu
kedatangan Marla. Dan begitu Marla menelepon barusan, Sarah langsung bergegas
ingin mengetahui kabar dari perempuan itu.
“Dia mengunjungi teman lamanya di
sana. Ada sesuatu yang terjadi dan Marla harus ke sana.”
Sarah langsung membuang tatapannya
ke luar jendela. Jelas ia tidak suka dengan jawaban yang diberikan James,
maksudnya jawaban Marla atas pengingkaran janjinya kemarin. Bisa-bisanya ia
pergi ke sana tanpa kabar lebih dulu.
“Dia akan datang ke sini besok.
Setelah bermalam satu hari lagi di Richland. Temannya sedang sakit keras, dan
dia membutuhkan keberadaan Marla di sana,” terang James lagi.
“For God sake, bahkan aku tidak bisa langsung percaya kata-katanya.”
“Aku yakin Marla mengatakan yang
sebenarnya.”
“Kita lihat saja besok. Apakah dia
akan menepati janjinya atau mengingkarinya untuk yang kedua kali.”
Mungkin James terdengar seperti
membela Marla. Dan Sarah? Jangankan bersimpati pada kondisi Marla saat ini,
bahkan ia tak tahu apakah yang Marla katakan benar-benar terjadi atau hanya
alasan yang dibuat-buat.
Sarah belum pernah bertemu Marla
sebelumnya, ia tidak bisa semudah itu percaya pada apa yang Marla katakan
setelah kejadian kemarin. Jadi kesan pertama yang buruk jadi penilaian Sarah
pada perempuan tersebut. Sarah hanya menaruh empatinya pada James dan berharap
yang akan ditemui temannya besok bukanlah sebuah kekecewaan lagi.
* * *
Hari kedua Marla di Richland tidak
benar-benar menyenangkan baginya. Marla tak membayangkan pertemuannya dengan
Benjamin adalah pertemuan yang seperti ini. Ia kira, ia akan bertemu Ben dengan
perempuan yang telah dinikahinya itu. Mungkin mereka sudah punya anak sekarang.
Ramah ataupun tidak sambutan yang diberikan isterinya itu, Marla tak akan
terlalu peduli. Ia berniat datang dengan sebuah persahabatan. Ia sudah
mengamini untuk menyudahi perasaan masa lalunya dengan Ben. Dan dia benar-benar
akan datang sebagai teman.
Tapi nyatanya, sejak berada di
sini kemarin, Marla hanya bisa duduk di tepi tempat tidur. Bicara seorang diri
pada Ben. Mengobrol tanpa respon. Kalaupun Ben mengeluarkan suara, itu adalah
igauan dalam tidurnya. Ben memanggil-manggil nama seseorang. Mengatakan kalau
ia ingin pergi ke sana bersamanya. Dan Marla benar-benar tak tega melihat
kondisi Ben seperti itu.
Kemarin sore, setelah Marla
menemui Ben untuk pertama kalinya, Susan menceritakan semuanya yang terjadi.
Semua yang dialami Ben hingga kondisinya menjadi terpuruk seperti saat ini.
Nama perempuan itu adalah Sandra.
Dia yang rencananya akan menikah dengan Ben. Semuanya sudah direncanakan dengan
baik dan matang oleh kedua orang tua masing-masing. Tapi di satu malam,
beberapa hari sebelum hari pemberkatan, peristiwa itu terjadi.
Ben dan Sandra berencana bertemu
di bridal untuk fitting akhir gaun pengantin dan jas yang akan dikenakan saat
pernikahan. Ben harusnya datang menjemput Sandra di kantornya lalu mereka pergi
bersama-sama ke sana. Tapi pekerjaan yang menumpuk hari itu membuat Ben tidak
bisa meninggalkan kantor lebih awal. Ben menghubungi Sandra dan memintanya
menunggu sedikit lebih lama. Sandra tak keberatan sebetulnya, tapi ia juga tak
enak hati dengan temannya itu jika harus menunda kedatangan, lagipula hari
belum larut dan Sandra pikir ia bisa menumpang taksi untuk sampai ke sana.
Sandra pun memutuskan untuk berangkat sendiri tanpa Ben. Ia menelepon Ben dan
mengatakan akan pergi ke bridal
sendiri, dan Ben bisa menyusulnya. Sayang, telepon tersebut adalah panggilan
terakhir Sandra untuk Ben. Taksi yang Sandra tumpangi bertabrakan dengan sebuah
trailer. Sandra tewas dalam kecelakaan tersebut.
Tidak pernah ada pernikahan. Tidak
pernah ada upacara pemberkatan dimana Sandra berjalan menuju altar dan Ben
menunggunya di sana. Undangan yang sudah disebar hanya menjadi kenang-kenangan
bagi teman dan kerabat. Kisah Ben dan Sandra berakhir setelah kecelakaan
tersebut.
Kepergian Sandra bukan hanya
menyisakan kesedihan dan air mata. Luka mendalam dan penyesalan yang tak
berkesudahan telah membuat Ben berubah. Ben bukan lagi lelaki ceria yang selalu
‘hidup’ dalam kesehariannya. Ben menutup dirinya setelah itu. Ia sering tampak
murung, tertutup dan menyendiri. Ben menyesali semua yang terjadi. Seringkali
dalam kesendiriannya, ia berandai-andai. Andai saja ia memilih untuk
meninggalkan kantor dan menjemput Sandra ketimbang berkutat lebih lama dengan
pekerjaannya, andai saja ia memilih hari yang lain untuk datang ke bridal, andai saja ia bisa memaksa
Sandra untuk bertahan lebih lama menunggunya, dan berbagai pengandaian lainnya
yang berujung pada satu hal: Sandra masih ada di sisinya hingga saat ini.
Ben tak lagi memperhatikan diri
sendiri. Ia sering telat makan, jam istirahatnyanya berantakan, hidup dengan
pola yang tak teratur, dan berbagai hal lainnya. Perlahan, kondisinya melemah.
Bukan hanya secara fisik, tapi juga psikis. Ben mengalami depresi. Dan dari
hari ke hari ia tak lebih seperti tanaman layu yang tak tahu berapa lama lagi
akan sanggup tumbuh di atas tanah yang gersang.
Selepas menelepon James tadi,
Marla kembali ke kamar Ben. Ia duduk di tepi tempat tidur. Seperti yang ia
temui sejak kemarin, Ben diam di tempat tidur. Meski matanya tidak terpejam,
tapi Ben seperti tidak mengenali orang-orang di sekitarnya, termasuk Marla.
Marla mendekatkan tangannya ke
tangan Ben. Kali ini, ia memberanikan diri untuk tidak hanya sekadar memanggil,
tapi juga menyentuh.
Perlahan, jari-jarinya menyentuh
punggung tangan Ben. Lalu seluruh telapak tangannya. Dan akhirnya, tangannya
telah bersandar di sana, mengusap tangan Ben, perlahan.
Tak ada suara, tak ada percakapan.
Yang Marla lakukan hanya mengusap kulit tangan yang terasa kering. Dan Ben
masih dengan ekspresi wajah yang sama. Kosong.
Marla tak tahu apakah usaha Susan
akan berhasil. Dan ia sendiri juga ragu kalau kedatangannya akan membawa
perubahan pada diri Ben. Tapi seperti permintaan Susan dan memang hanya itu
yang bisa Marla lakukan sekarang.
* * *
“Apa kamu akan menemui temanmu
yang di Seattle?”
Susan berdiri di ambang pintu
kamarnya saat melihat Marla menarik koper ke ruang depan. Ia merapikan ikat
rambutnya, meski hal itu tak bisa mengusir gurat lelah yang ada di wajahnya
sekarang.
“Ya. Aku akan menemuinya. Jangan
khawatir, aku akan datang ke sini lagi untuk menengok Ben.”
“Berapa lama?”
“Aku tidak tahu.”
“Marla...”
Susan menggantung kata-katanya sebentar.
Sebetulnya Susan sadar kalau yang diinginkannya sekarang adalah menahan Marla
lebih lama di sini. Ia meminta Marla datang ke sini untuk membantu
‘menghidupkan’ Ben kembali. Atau lebih tepatnya memohon? Susan tak tahu harus
meminta bantuan siapa lagi. Mungkin Marla adalah harapan terakhirnya.
“Apakah kamu keberatan kalau aku
telepon? Maksudku, kadang-kadang Ben kolaps.”
Marla menimbang-nimbang sejenak.
Ia mengerti kekhawatiran Susan. Tapi jika keadaan demikian, bukankah itu sama
artinya Marla harus terus berada di sini? Ah, tak jadi soal sebetulnya jika ia
tak punya janji dengan James. Dan saat ini, Marla memikirkan betapa tak enak
hatinya ia pada James. Tapi jika menengok ke arah Susan. Separuh hatinya yang
lain merasa bahwa ia juga punya kewajiban untuk ada di sini.
“Tante. Teleponlah. Tapi aku harus
bilang, kalau aku tidak bisa terus-terusan begini.”
“Jika dalam dua pekan ini tidak
ada perubahan. Kamu boleh meninggalkan Ben. Dan mungkin ia memang sudah
menyerah.”
Marla memicingkan matanya. Apakah Susan
tengah bertaruh sekarang? Ia terdengar ragu dengan kondisi putranya. Juga
keinginan Ben sendiri untuk bangkit lagi dari penyakitnya.
“Dua pekan Marla. Aku tahu, aku
tidak berhak memilihkan takdir. Tapi kalau kamu juga tidak berhasil. Mungkin
aku perlu berpikir realistis kalau Ben tidak pernah ingin hidup lagi.”
Ketika Marla membuka pintu rumah,
Joseph baru turun dari mobilnya dan dengan sigap berlari untuk mengambil alih
koper Marla dan membawanya ke bagasi.
Susan berdiri di ambang pintu. Ia
dan Marla hanya saling tatap tanpa mengulurkan satu kata pun. Meski begitu
Marla berjanji dalam hatinya, ia masih ingin membantu Susan. Bukan karena Susan
yang menjadi alasannya, tapi karena Ben. Marla ingin Ben kembali.
Setelah percakapan barusan, Marla
sudah membuat keputusan. Jika ia bisa melakukan satu kebaikan terakhir sebelum
meninggal, maka kebaikan tersebut adalah membawa Ben kembali. Terdengar
mustahil kalau Ben akan pulih seratus persen, tapi paling tidak Marla ingin
melepaskan bayang-bayang kematian dalam pikiran Ben. Jika saja Ben bangun dari
tidurnya, bisa bicara padanya dan orang-orang di sekitarnya. Jika ia bisa
tersenyum lagi dan melupakan air mata karena Sandra.
* * *
“Jam berapa dia akan sampai?”
“Sekitar pukul sebelas nanti.”
“Kau yakin sudah memberi alamat
yang jelas.”
“Sudah.”
“Tidak terlewat satu huruf pun?
Karena satu huruf saja bisa jadi alasan untuk dia membatalkan janji lagi kali
ini.”
“Sudah. Tenanglah. Aku yakin dia
akan datang.”
“Baiklah. Good luck for you.”
“Thank you, Sarah. Dan semoga kau bisa segera bertemu Marla juga.
Kau akan tahu betapa baiknya dia.”
“We’ll see.”
Sarah menarik kepalanya dari kaca
mobil James. James tahu ucapan Sarah barusan terdengar ketus, tapi ia tak mau
memedulikannya. Sarah hanya ingin memastikan kalau James tidak akan kecewa
lagi. Itu saja. Tapi James sendiri juga yakin kalau Marla akan benar-benar
datang. Mereka janji bertemu di Espresso Vivace Alley, sebuah kedai kopi di
deretan Yale Ave. Letaknya tak terlalu jauh dari kantor James. Dan lagipula
Yale Ave benar-benar berada di Seattle Downtown. Tempat yang pernah Marla
katakan di e-mail, yang sangat ingin didatanginya. Jadi setelah bersantai
sejenak, mereka bisa langsung melangkah ke sana.
Di Espresso Vivace Alley, James
memilih satu meja yang nyaman untuknya dan Marla. James sengaja datang lebih
awal. Ia tak ingin Marla menunggu lama atau kebingungan memilih meja saat tiba
di sini. Marla hanya cukup melihat lambaian tangan James dan berjalan
menghampirinya.
Beberapa menit lamanya James
menunggu. Untuk mengusir jenuh, ia mengambil surat kabar yang ada di rak.
Membukanya, membacanya sekilas, menutupnya lagi, kemudian membuka dan
membacanya lagi.
Meski tak pernah diliputi ragu,
James tahu bisa saja Marla membatalkan janjinya di waktu yang mendesak. Ah,
sepertinya ia termakan omongan Sarah. Atau, itu hanya pengandaian saja? Karena,
saat ia mengangkat wajahnya dari balik surat kabar, saat itulah ia melihat
seorang perempuan Asia dengan rambut pendeknya yang menyentuh bahu sedang mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Ia pasti tengah mencari seseorang. Dan segera saja
James melambaikan tangannya ke arah perempuan itu.
Keduanya mengurai senyum saat
tatapan mereka saling bertemu.
* * *
(bersambung)