NIGHTFALL - Satu Senja di Seattle #4

By Robin Wijaya - Agustus 25, 2013



Marla Sebastian adalah tipe orang yang sangat mudah tersentuh hatinya. Orang-orang yang mengenalnya setuju kalau untuk meluruhkan hati Marla bukanlah sesuatu yang sangat sulit. Marla bukan tipe orang kaku yang sulit digoyahkan. Dan perasaannya yang lembut itu kerap kali membuat ia mengiba pada hal-hal sentimentil. Tapi jika Marla mengubah destinasi tujuannya yang semula datang ke Seattle untuk bertemu James, bukan semata-mata karena sifatnya itu.
Marla dan Benjamin punya kisah tersendiri dulu. Jauh sebelum bertemu Leo terlebih James, Ben adalah lelaki yang pernah mengikat hubungan dengannya. Marla dan Ben dipertemukan di sebuah kegiatan sosial yang diadakan gereja. Ben adalah jemaat yang aktif, dan kerap terlibat pelayanan. Dan seperti halnya Ben, Marla sendiri sudah lama terdaftar sebagai pengajar sekolah minggu. Lalu pada satu kesempatan, mereka bertemu dan menjadi dekat.
Hubungan Ben dan Marla adalah kisah cinta yang manis. Ben yang baik dan menyenangkan melengkapi Marla yang tenang dan penyabar. Mereka terikat sebagai kekasih hingga setahun lamanya.
Ketika Ben harus pindah ke Richland bersama keluarganya, ketika itu pula lah hubungan mereka menuju titik kritis. Sulitnya menjalin hubungan jarak jauh juga jumlah kedatangan Ben ke Indonesia yang tak selalu bisa dipastikan. Marla pun memutuskan menyudahi hubungan tersebut.
Lama tak ada kabar dari Ben setelah itu. Hingga empat tahun yang lalu, Marla mendengar kabar kalau Ben bertunangan dengan seorang perempuan di Richland dan merencanakan sebuah pernikahan. Saat itu lah Marla meyakinkan dirinya kalau Ben telah menjadi masa lalu baginya.
Putus dari Ben tidak membuat Marla mudah mendapatkan sosok yang bisa menggantikan lelaki tersebut. Hampir dua tahun hingga ia bertemu seorang pelukis bernama Leonardo Halim. Seperti kisah cintanya yang terdahulu, kali ini pun hubungan tersebut kandas. Marla mengakhiri hubungannya dengan Leo di Roma. Dan di kota itu pula lah kemudian ia bertemu James Calvert, promotor pameran seni yang mengundangnya datang ke Seattle.
Meskipun kisah cintaya bersama Ben tidak berakhir dengan manis, masa lalu seharusnya tetap tertinggal di belakang. Ia tak mau bersikap dingin pada Ben hanya karena lelaki itu menikahi perempuan lain. Lagipula, sudah sangat lama Marla tidak bertemu Ben dan kedua orang tuanya. Mungkin sebuah pertemuan sebagai teman lama bisa memperbaiki hubungannya dengan Ben. Seattle dan Richland yang hanya berjarak beberapa jam saja lewat jalur darat tentu tak akan disia-siakan Marla. Ia menghubungi Ben dan mengabarkan kedatangannya ke Seattle dan rencana kunjungannya ke Richland. Tapi siapa sangka, telepon yang dituju malah diterima oleh orang tua Ben.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun akhirnya Susan mendengar suara Marla kembali. Susan tak bisa mengabulkan keinginan Marla untuk bicara pada Ben karena kondisinya yang seperti itu. Melalui hubungan telepon itu pula, Susan memberi tahu Marla tentang Ben dan memintanya untuk menengok Ben ke Richland lebih dulu.
Marla tak sampai hati untuk menolak, tapi janjinya pada James sama sekali tak bisa dilanggar. Marla memohon agar Susan mau menunggu sampai dua atau tiga hari setelah ia bertemu James lebih dulu. Tapi Susan bilang, mungkin Ben tak akan bisa menunggu.
Nada suara Susan seperti sedang menahan tangis ketika menceritakan semuanya. Dengan terbata-bata, akhirnya Susan melengkapi tanda tanya di kepala Marla ketika pembicaraan mereka di telepon berakhir.
ayangan tentang kondisi Ben membuat Marla mengiyakan permohonan tersebut. Ia menghubungi biro pelayanan perjalanan, meminta keberangkatan lebih awal. Sebuah permintaan yang cukup sulit, tapi sepertinya keajaiban berpihak pada Ben. Marla naik penerbangan pertama hari itu. Beberapa jam lebih awal. Sampai di Seattle juga lebih awal. Dan Joseph yang merupakan kerabat Ben datang menjemput Marla di Sea-Tac dan membawanya ke Richland.
Janji dengan James begitu penting, tapi hal yang menyangkut kondisi Ben saat ini jauh lebih penting. Marla tahu mungkin ia sudah membuat James kecewa. Lelaki itu pasti menungguinya di airport. Dan kekecewaan James pasti akan bertambah besar karena Marla tak mengabarinya. Marla ingin menyelesaikan urusannya di Richland selesai lebih dulu. Ia tahu ini salah, tapi sudah terlanjur terjadi dan ia tak punya kuasa untuk mengubahnya.
Dan sekarang, Marla harus menghubungi James karena ia tahu lelaki itu pasti telah menunggu kabar darinya sejak kemarin. Marla meminjam telepon milik Susan untuk menelepon nomor yang ditinggalkan James melalui surat elektroniknya. Perlu waktu beberapa saat hingga James menerima panggilannya itu.
“James? It’s me, Marla.” Suara Marla menggantung di udara selama sekian detik.
“Maaf sudah membuatmu khawatir karena tidak mengabarimu lebih dulu.”
“James… aku di Richland sekarang.”

* * *

“Dia di Richland.” James baru saja menutup percakapannya dengan Marla. Sarah yang berada di depannya menatap heran. Marla berada di Richland? Apa yang dilakukan perempuan itu di sana?
“Dia memberi tahumu barusan? Kapan dia datang? Kenapa tidak langsung ke sini?” Sarah memberondong James dengan banyak pertanyaan. Ini dan itu. Seolah-olah, Sarah lah yang sedang menunggu kedatangan Marla. Dan begitu Marla menelepon barusan, Sarah langsung bergegas ingin mengetahui kabar dari perempuan itu.
“Dia mengunjungi teman lamanya di sana. Ada sesuatu yang terjadi dan Marla harus ke sana.”
Sarah langsung membuang tatapannya ke luar jendela. Jelas ia tidak suka dengan jawaban yang diberikan James, maksudnya jawaban Marla atas pengingkaran janjinya kemarin. Bisa-bisanya ia pergi ke sana tanpa kabar lebih dulu.
“Dia akan datang ke sini besok. Setelah bermalam satu hari lagi di Richland. Temannya sedang sakit keras, dan dia membutuhkan keberadaan Marla di sana,” terang James lagi.
For God sake, bahkan aku tidak bisa langsung percaya kata-katanya.”
“Aku yakin Marla mengatakan yang sebenarnya.”
“Kita lihat saja besok. Apakah dia akan menepati janjinya atau mengingkarinya untuk yang kedua kali.”
Mungkin James terdengar seperti membela Marla. Dan Sarah? Jangankan bersimpati pada kondisi Marla saat ini, bahkan ia tak tahu apakah yang Marla katakan benar-benar terjadi atau hanya alasan yang dibuat-buat.
Sarah belum pernah bertemu Marla sebelumnya, ia tidak bisa semudah itu percaya pada apa yang Marla katakan setelah kejadian kemarin. Jadi kesan pertama yang buruk jadi penilaian Sarah pada perempuan tersebut. Sarah hanya menaruh empatinya pada James dan berharap yang akan ditemui temannya besok bukanlah sebuah kekecewaan lagi.

* * *

Hari kedua Marla di Richland tidak benar-benar menyenangkan baginya. Marla tak membayangkan pertemuannya dengan Benjamin adalah pertemuan yang seperti ini. Ia kira, ia akan bertemu Ben dengan perempuan yang telah dinikahinya itu. Mungkin mereka sudah punya anak sekarang. Ramah ataupun tidak sambutan yang diberikan isterinya itu, Marla tak akan terlalu peduli. Ia berniat datang dengan sebuah persahabatan. Ia sudah mengamini untuk menyudahi perasaan masa lalunya dengan Ben. Dan dia benar-benar akan datang sebagai teman.
Tapi nyatanya, sejak berada di sini kemarin, Marla hanya bisa duduk di tepi tempat tidur. Bicara seorang diri pada Ben. Mengobrol tanpa respon. Kalaupun Ben mengeluarkan suara, itu adalah igauan dalam tidurnya. Ben memanggil-manggil nama seseorang. Mengatakan kalau ia ingin pergi ke sana bersamanya. Dan Marla benar-benar tak tega melihat kondisi Ben seperti itu.
Kemarin sore, setelah Marla menemui Ben untuk pertama kalinya, Susan menceritakan semuanya yang terjadi. Semua yang dialami Ben hingga kondisinya menjadi terpuruk seperti saat ini.
Nama perempuan itu adalah Sandra. Dia yang rencananya akan menikah dengan Ben. Semuanya sudah direncanakan dengan baik dan matang oleh kedua orang tua masing-masing. Tapi di satu malam, beberapa hari sebelum hari pemberkatan, peristiwa itu terjadi.
Ben dan Sandra berencana bertemu di bridal untuk fitting akhir gaun pengantin dan jas yang akan dikenakan saat pernikahan. Ben harusnya datang menjemput Sandra di kantornya lalu mereka pergi bersama-sama ke sana. Tapi pekerjaan yang menumpuk hari itu membuat Ben tidak bisa meninggalkan kantor lebih awal. Ben menghubungi Sandra dan memintanya menunggu sedikit lebih lama. Sandra tak keberatan sebetulnya, tapi ia juga tak enak hati dengan temannya itu jika harus menunda kedatangan, lagipula hari belum larut dan Sandra pikir ia bisa menumpang taksi untuk sampai ke sana. Sandra pun memutuskan untuk berangkat sendiri tanpa Ben. Ia menelepon Ben dan mengatakan akan pergi ke bridal sendiri, dan Ben bisa menyusulnya. Sayang, telepon tersebut adalah panggilan terakhir Sandra untuk Ben. Taksi yang Sandra tumpangi bertabrakan dengan sebuah trailer. Sandra tewas dalam kecelakaan tersebut.
Tidak pernah ada pernikahan. Tidak pernah ada upacara pemberkatan dimana Sandra berjalan menuju altar dan Ben menunggunya di sana. Undangan yang sudah disebar hanya menjadi kenang-kenangan bagi teman dan kerabat. Kisah Ben dan Sandra berakhir setelah kecelakaan tersebut.
Kepergian Sandra bukan hanya menyisakan kesedihan dan air mata. Luka mendalam dan penyesalan yang tak berkesudahan telah membuat Ben berubah. Ben bukan lagi lelaki ceria yang selalu ‘hidup’ dalam kesehariannya. Ben menutup dirinya setelah itu. Ia sering tampak murung, tertutup dan menyendiri. Ben menyesali semua yang terjadi. Seringkali dalam kesendiriannya, ia berandai-andai. Andai saja ia memilih untuk meninggalkan kantor dan menjemput Sandra ketimbang berkutat lebih lama dengan pekerjaannya, andai saja ia memilih hari yang lain untuk datang ke bridal, andai saja ia bisa memaksa Sandra untuk bertahan lebih lama menunggunya, dan berbagai pengandaian lainnya yang berujung pada satu hal: Sandra masih ada di sisinya hingga saat ini.
Ben tak lagi memperhatikan diri sendiri. Ia sering telat makan, jam istirahatnyanya berantakan, hidup dengan pola yang tak teratur, dan berbagai hal lainnya. Perlahan, kondisinya melemah. Bukan hanya secara fisik, tapi juga psikis. Ben mengalami depresi. Dan dari hari ke hari ia tak lebih seperti tanaman layu yang tak tahu berapa lama lagi akan sanggup tumbuh di atas tanah yang gersang.
Selepas menelepon James tadi, Marla kembali ke kamar Ben. Ia duduk di tepi tempat tidur. Seperti yang ia temui sejak kemarin, Ben diam di tempat tidur. Meski matanya tidak terpejam, tapi Ben seperti tidak mengenali orang-orang di sekitarnya, termasuk Marla.
Marla mendekatkan tangannya ke tangan Ben. Kali ini, ia memberanikan diri untuk tidak hanya sekadar memanggil, tapi juga menyentuh.
Perlahan, jari-jarinya menyentuh punggung tangan Ben. Lalu seluruh telapak tangannya. Dan akhirnya, tangannya telah bersandar di sana, mengusap tangan Ben, perlahan.
Tak ada suara, tak ada percakapan. Yang Marla lakukan hanya mengusap kulit tangan yang terasa kering. Dan Ben masih dengan ekspresi wajah yang sama. Kosong.
Marla tak tahu apakah usaha Susan akan berhasil. Dan ia sendiri juga ragu kalau kedatangannya akan membawa perubahan pada diri Ben. Tapi seperti permintaan Susan dan memang hanya itu yang bisa Marla lakukan sekarang.

* * *

“Apa kamu akan menemui temanmu yang di Seattle?”
Susan berdiri di ambang pintu kamarnya saat melihat Marla menarik koper ke ruang depan. Ia merapikan ikat rambutnya, meski hal itu tak bisa mengusir gurat lelah yang ada di wajahnya sekarang.
“Ya. Aku akan menemuinya. Jangan khawatir, aku akan datang ke sini lagi untuk menengok Ben.”
“Berapa lama?”
“Aku tidak tahu.”
“Marla...”
Susan menggantung kata-katanya sebentar. Sebetulnya Susan sadar kalau yang diinginkannya sekarang adalah menahan Marla lebih lama di sini. Ia meminta Marla datang ke sini untuk membantu ‘menghidupkan’ Ben kembali. Atau lebih tepatnya memohon? Susan tak tahu harus meminta bantuan siapa lagi. Mungkin Marla adalah harapan terakhirnya.
“Apakah kamu keberatan kalau aku telepon? Maksudku, kadang-kadang Ben kolaps.”
Marla menimbang-nimbang sejenak. Ia mengerti kekhawatiran Susan. Tapi jika keadaan demikian, bukankah itu sama artinya Marla harus terus berada di sini? Ah, tak jadi soal sebetulnya jika ia tak punya janji dengan James. Dan saat ini, Marla memikirkan betapa tak enak hatinya ia pada James. Tapi jika menengok ke arah Susan. Separuh hatinya yang lain merasa bahwa ia juga punya kewajiban untuk ada di sini.
“Tante. Teleponlah. Tapi aku harus bilang, kalau aku tidak bisa terus-terusan begini.”
“Jika dalam dua pekan ini tidak ada perubahan. Kamu boleh meninggalkan Ben. Dan mungkin ia memang sudah menyerah.”
Marla memicingkan matanya. Apakah Susan tengah bertaruh sekarang? Ia terdengar ragu dengan kondisi putranya. Juga keinginan Ben sendiri untuk bangkit lagi dari penyakitnya.
“Dua pekan Marla. Aku tahu, aku tidak berhak memilihkan takdir. Tapi kalau kamu juga tidak berhasil. Mungkin aku perlu berpikir realistis kalau Ben tidak pernah ingin hidup lagi.”
Ketika Marla membuka pintu rumah, Joseph baru turun dari mobilnya dan dengan sigap berlari untuk mengambil alih koper Marla dan membawanya ke bagasi.
Susan berdiri di ambang pintu. Ia dan Marla hanya saling tatap tanpa mengulurkan satu kata pun. Meski begitu Marla berjanji dalam hatinya, ia masih ingin membantu Susan. Bukan karena Susan yang menjadi alasannya, tapi karena Ben. Marla ingin Ben kembali.
Setelah percakapan barusan, Marla sudah membuat keputusan. Jika ia bisa melakukan satu kebaikan terakhir sebelum meninggal, maka kebaikan tersebut adalah membawa Ben kembali. Terdengar mustahil kalau Ben akan pulih seratus persen, tapi paling tidak Marla ingin melepaskan bayang-bayang kematian dalam pikiran Ben. Jika saja Ben bangun dari tidurnya, bisa bicara padanya dan orang-orang di sekitarnya. Jika ia bisa tersenyum lagi dan melupakan air mata karena Sandra.

* * *

“Jam berapa dia akan sampai?”
“Sekitar pukul sebelas nanti.”
“Kau yakin sudah memberi alamat yang jelas.”
“Sudah.”
“Tidak terlewat satu huruf pun? Karena satu huruf saja bisa jadi alasan untuk dia membatalkan janji lagi kali ini.”
“Sudah. Tenanglah. Aku yakin dia akan datang.”
“Baiklah. Good luck for you.”
Thank you, Sarah. Dan semoga kau bisa segera bertemu Marla juga. Kau akan tahu betapa baiknya dia.”
We’ll see.”
Sarah menarik kepalanya dari kaca mobil James. James tahu ucapan Sarah barusan terdengar ketus, tapi ia tak mau memedulikannya. Sarah hanya ingin memastikan kalau James tidak akan kecewa lagi. Itu saja. Tapi James sendiri juga yakin kalau Marla akan benar-benar datang. Mereka janji bertemu di Espresso Vivace Alley, sebuah kedai kopi di deretan Yale Ave. Letaknya tak terlalu jauh dari kantor James. Dan lagipula Yale Ave benar-benar berada di Seattle Downtown. Tempat yang pernah Marla katakan di e-mail, yang sangat ingin didatanginya. Jadi setelah bersantai sejenak, mereka bisa langsung melangkah ke sana.
Di Espresso Vivace Alley, James memilih satu meja yang nyaman untuknya dan Marla. James sengaja datang lebih awal. Ia tak ingin Marla menunggu lama atau kebingungan memilih meja saat tiba di sini. Marla hanya cukup melihat lambaian tangan James dan berjalan menghampirinya.
Beberapa menit lamanya James menunggu. Untuk mengusir jenuh, ia mengambil surat kabar yang ada di rak. Membukanya, membacanya sekilas, menutupnya lagi, kemudian membuka dan membacanya lagi.
Meski tak pernah diliputi ragu, James tahu bisa saja Marla membatalkan janjinya di waktu yang mendesak. Ah, sepertinya ia termakan omongan Sarah. Atau, itu hanya pengandaian saja? Karena, saat ia mengangkat wajahnya dari balik surat kabar, saat itulah ia melihat seorang perempuan Asia dengan rambut pendeknya yang menyentuh bahu sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia pasti tengah mencari seseorang. Dan segera saja James melambaikan tangannya ke arah perempuan itu.
Keduanya mengurai senyum saat tatapan mereka saling bertemu.


* * *


(bersambung)

  • Share:

You Might Also Like

4 komentar

  1. Nunggunya lama banget rasanya, tp ngabisin bacanya ga sampe 1 hari (˘̩̩̩.˘̩̩̩ƪ) we want more..we want more #treak2kayanontonkonser

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih mimiiyy...
      sabar nunggu setiap minggu ya untuk kelanjutannya :)

      Hapus