NIGHTFALL - Satu Senja di Seattle #3

By Robin Wijaya - Agustus 17, 2013



James terdiam di salah satu meja di kedai kopi. Pulang dari airport, bukannya menuju ke rumah, James malah membelokkan mobilnya ke tempat ini. Ia tenggelam di balik cup kopi. Melingkarkan jari jemarinya hingga hangat dari dalam cup tersebut merambat ke telapak tangannya.
James sudah menulis pesan melalui e-mail untuk Marla. Ia meninggalkan nomor ponselnya di sana dan meminta Marla agar segera menghubunginya kapanpun ia sampai. James masih yakin kalau Marla akan datang. Ia membuat pengandaian kalau mungkin saja Marla terjebak di dalam imigrasi cukup lama karena urusan dokumen atau yang lainnya. Atau ia menunda keberangkatan dengan pesawat berikutnya. Atau apapun itu. Yang jelas, ia sangat percaya kalau Marla akan benar-benar sampai.
Setelah lebih dari lima belas menit lamanya James berada di kedai kopi ini, Sarah Parker muncul dari luar dan menghampirinya dengan segera.
“Dia tidak datang?” tanya Sarah, bahkan ia belum melepas tas kanvas yang melingkar di bahunya.
James hanya menggeleng, menjawab pertanyaan Sarah begitu singkat.
“Mungkin pesawatnya delay, atau?”
“Nomor penerbangan dan maskapainya sesuai. Harusnya dia sudah tiba.”
Sarah menghela nafas sejenak.
“Ada kabar lainnya mungkin?” tanya Sarah kembali.
James mengedikan bahu. “Tapi aku sudah mengiriminya e-mail lagi. Memintanya menghubungiku jika ia datang nanti.”
Sarah tahu yang James bilang barusan seperti harapan kosong. Tapi kesungguhan di mata lelaki itu membuat Sarah ikut mengamini dalam hati.
Setelah menit-menit yang panjang tanpa obrolan, ingin rasanya Sarah meminta James bangkit dari duduknya dan keluar dari kedai kopi ini. Kemana pun itu, paling tidak Sarah perlu membebaskan dirinya dari wajah murung James sore ini.

* * *

Langit di luar mobil mulai memerah. Hari akan segera berangsur gelap. Marla menatap awan-awan tipis yang terbentang di sepanjang perjalanannya menuju Richland.
Marla meremas jari-jemarinya sendiri. Ia tampak gelisah. Ada rasa bersalah yang muncul di hatinya semenjak ia meninggalkan Sea-Tac dan menumpang mobil tua ini. Tapi semuanya sungguh di luar rencana. Marla sama sekali tak berniat memajukan keberangkatannya jika tidak ada urusan sepenting ini.
Beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Seattle, Marla menghubungi seorang rekan yang tinggal di Richland. Ia mengabarkan kalau akan terbang ke Seattle dan jika memungkinkan akan datang ke Richland untuk berkunjung sekaligus. Kebetulan Richland dan Seattle masih berada dalam negara bagian Washington City. Perlu waktu beberapa jam saja dengan menempuh perjalanan darat untuk sampai ke kota tersebut. Tapi ternyata kabar yang Marla bawa malah membuatnya mengubah semua rencana yang semula sudah terjadwalkan.
Dari spion tengah, lelaki yang mengendarai mobil memanggil Marla dan membuyarkan lamunannya.
“Sudah berapa lama tidak datang ke Richland?” tanya lelaki tersebut.
“Ini yang pertama.”
Marla hanya menatap sekilas lalu mengembalikan pandangannya pada jalanan di luar sana.
Lelaki yang bertanya pada Marla barusan sama sekali tidak dikenalnya. Tapi jika dilihat dari peranakannya yang keturunan Asia, bisa dipastikan ia adalah kerabat dari rekan Marla yang tinggal di Richland.
Rekan yang akan dikunjungi Marla sudah tinggal di Richland selama lima tahun terakhir. Ayahnya sendiri sebenarnya sudah tinggal di Amerika sejak dulu. Ia bekerja di resto yang menyediakan Asian food secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Di tahun 2004 Ayahnya mendapatkan Green Card, dan setelah pengajuan permanent resident disetujui, keluarganya yang tinggal di Indonesia pun hijrah ke kota tersebut.
“Sebentar lagi kita akan sampai.”
“Ya.” Hanya itu respon Marla.

* * *

Seperti kebanyakan rumah lainnya di Richland, rumah rekannya ini memiliki pekarangan yang cukup besar dengan teras batu dan setapak semen yang terhubung ke jalan utama yang beraspal. Hampir tidak ada aktifitas di lingkungan sekitar kecuali seorang wanita tua yang menenteng kantong kertas sambil berjalan beriringan dengan balita yang terus menatap ke arah Marla. Marla mengurai senyum pada anak tersebut, tapi balita itu malah menjulurkan lidahnya sebagai balasan, membuat Marla tertawa kecil melihat tingkahnya.
“Ayo,” ajak lelaki yang datang bersamanya.
Begitu sampai di muka pintu, seorang wanita langsung menghambur ke arahnya. Memeluk Marla erat-erat dan menciumi pipi dan keningnya beberapa kali.
“Terima kasih sudah mau datang,” katanya, dengan logat Asia yang masih kentara jelas.
“Kamu mau teh, cokelat, atau kopi?” tanyanya lagi.
“Apa saja. Aku ingin yang hangat,” Marla memberikan kebebasan pada si tuan rumah untuk memilihkan.
“Aku siapkan teh. Joseph, kau bisa membantuku membawa koper Marla ke kamar.”
Yes. Sure.”
Oh, nama lelaki itu Joseph rupanya. Marla baru ingat lelaki itu menyebut namanya saat di Sea-Tac tadi. Marla menyerahkan sweater yang melingkar di bahunya kepada Joseph sekalian. Lelaki itu membawanya masuk ke dalam kamar.
Bukannya duduk, Marla malah melihat-lihat sekeliling ruang depan. Banyak foto-foto yang dipajang di dinding. Mulai dari yang usianya cukup tua hingga yang terbaru. Marla mengamatinya satu persatu. Ia bukan tipe perekam moment-moment penting dalam hidup. Dinding rumahnya di Jakarta sepi dari foto-foto, bahkan ia hanya punya dua atau tiga album saja. Termasuk folder dalam PC0nya yang jarang memuat gambar-gambar dirinya dan keluarga.
Melihat keluarga rekannya yang mengabadikan hampir setiap kehidupan, sejenak Marla merasa rindu pada keluarganya. Seandainya mereka masih bisa berkumpul sekarang. Sayangnya, kesempatan tersebut terasa mustahil.
Kedua orang tua Marla sudah meninggal dunia, dan Miguel―saudara laki-laki satu-satunya tinggal berpindah-pindah antara Bandung dan Jakarta. Mereka sangat jarang bertemu, terlebih setelah Miguel bercerai dan hidup sendiri. Dengan segala kebebasannya itu, bertemu Miguel justru malah jadi hal yang sulit.
“Marla, tehmu sudah siap.”
Marla menoleh ke arah wanita itu, mengekori langkahnya kemudian dan pergi ke ruang tengah. Mereka duduk berhadapan. Marla mengangkat cangkir teh dan menyesapnya perlahan.
Wanita itu bernama Susan. Dan sejak tadi ia tidak melepas tatapan barang sedetik pun dari Marla. Merasa terus menerus diperhatikan, Marla menoleh ke arahnya.
“Bilang padaku kalau kamu sudah siap bertemu dengannya.”
Marla mengangguk. Ia meletakkan cangkir kembali ke atas tatakannya. “Aku rasa… aku bisa bertemu dengannya sekarang.”
Kedua perempuan itu bangkit dari duduknya. Susan memimpin di depan. Mereka pergi ke lantai dua rumah ini. Dari ujung tangga, pintu kamar pertama terbuka sebagian. Susan berhenti tepat di depan pintu tersebut. Ia meminta Marla mendekat.
Marla menghampiri. Dari celah pintu, ia bisa melihat seorang lelaki yang terbaring di atas tempat tidur. Lemah. Dan tampak lelah.
Marla melangkah perlahan. Di sisi tempat tidur, tatapan lelaki itu mengarah pada dinding kamar. Marla hendak menyentuh lengannya. Tapi beberapa senti sebelum ia mampu menggapainya, Marla mengurungkan niatnya.
“Ben…” panggil Marla, pelan.

* * *

Hampir saja James melonjak dari tempat tidurnya saat melihat angka yang ditunjukan jam digital di pergelangan tangannya.
Shit.” Dia menggerutu pada dirinya sendiri.
Setengah berlari James pergi ke kamar mandi. Membuka kran di wastafel lebar-lebar, mengusap wajahnya dengan sabun pembersih muka. Lalu menyikat gigi sambil menyiapkan pakaian kerja.
Ia sudah telat lebih dari satu jam. Jika tidak bergegas secepat mungkin, keterlambatan tersebut akan berdampak besar pada kepercayaan kliennya.
Sepuluh menit adalah waktu yang fantastis bagi James karena ia sudah berada dalam perjalanan menuju tempat pertemuan dengan kliennya sekarang. Tidak ada jejak miscalled atau pun pesan dari sang klien. Tapi hal tersebut justru membuat ia sangat khawatir. Jangan-jangan kliennya sudah pergi, atau malah karena kecewa sudah menunggu terlalu lama mereka malah akan membatalkan rencana kerja samanya dengan James.
Sambil berusaha menguasai stir kemudi, James menekan nomor ponselnya, berusaha menghubungi kliennya itu dan memberi tahu kalau ia sudah sedang dalam perjalanan ke sana.
Tidak diangkat.” James terus menggerutu, kesal pada kecerobohannya sendiri.

* * *

James memarkirkan mobilnya dan menghempaskan pintu dengan cepat. Langkahnya seperti melayang saat ia menapaki anak tangga menuju sebuah kafe yang terletak di lantai dua. Helaan nafas lega dari mulut James muncul ketika ia melihat dua orang lelaki masih duduk di bangku kafe, menungguinya meski dengan wajah yang tak sabar.
“Maaf. Aku benar-benar minta maaf untuk hari ini. Semoga tidak terulang lagi lain waktu.” James betul-betul tak enak hati.
“Kita bisa langsung mulai sekarang Mr. Calvert? Kami ada janji dengan yang lain pukul sebelas nanti.”
“Tentu.”
James membuka tasnya dan mengeluarkan berkas yang diajukan dua orang kliennya tersebut.
“Aku sudah membaca materi yang kalian buat. Aku bisa bantu mencarikan sponsor dan ngomong-ngomong aku punya beberapa rekan seniman, aku rasa mereka cocok dengan proyek kalian. Apakah kalian keberatan jika aku membuat janji bertemu. Mungkin mereka bisa berpartisipasi.”
“Asalkan sesuai dengan konsep yang kami punya, kami tak keberatan sama sekali.”
“Baiklah. Aku punya profil mereka. Silakan diambil. Kalian bisa baca nanti setelah kita menyelesaikan pembicaraan ini lebih dulu.”
“Terima kasih Mr. Calvert.”

* * *

Pertemuan tersebut selesai dalam waktu empat puluh menit saja. James tahu dia tidak bisa memuaskan kliennya seratus persen hari ini. Terlambat lebih dari satu jam adalah sebuah momok yang sangat memalukan. Terlebih ini adalah meeting pertamanya untuk penyelenggaran pameran seni yang dijadwalkan berlangsung tiga bulan mendatang.
James pergi mencari udara segar di sisi lain bangunan ini. Teras yang cukup luas dengan pagar stainless yang membatasi lantai atas tersebut. Ia bersandar di sana. Membiarkan angin menyapu rambut dan menyibak dasi yang berlarian keluar dari setelan jasnya.
Ada pekerjaan lain yang harus ia kerjakan hari ini. Mendatangi desainer untuk memilih langsung desain poster dan undangan untuk acara bulan ini, juga janji makan siang dengan seorang teman seniman dari Portland. Tapi sebelum memulai semua aktifitas tersebut, ia butuh waktu untuk meneduhkan kepalanya sejenak.
Tak ada masalah apapun soal pekerjaan yang terjadi belakangan. Kecuali tentang Marla yang memenuhi pikirannya sejak kemarin. James tahu, ini terdengar seperti sesuatu yang sia-sia. Tapi dia sendiri tak bisa mengusir nama perempuan itu dari pikirannya. Terlebih sejak janji kedatangannya yang cuma jadi penantian tak berkesudahan.
Ketika dirasa sudah cukup tenang, James memutuskan meninggalkan tempat ini. Meski sebenarnya di setiap jejak kakinya yang melangkah, bayangan Marla kerap muncul tanpa direncanakan.

* * *

Marla merapatkan sweater rajutnya saat keluar dari kamar Ben. Susan berdiri di muka pintu dengan wajah penuh harap. Kedua perempuan itu saling tatap sejenak. Tapi Marla tak mengucap sepatah katapun dan Susan juga tak bertanya soal apa yang terjadi selama Marla berada di dalam.
Mereka menapaki anak tangga, kembali ke ruang tengah. Marla bersandar di sofa dan terdiam untuk waktu yang cukup lama.
“Sudah beberapa bulan terakhir Ben diam di tempat tidur saja.” Susan memecah keheningan.
Marla mengurut keningnya. “Apakah kalian pernah mencoba membantunya untuk keluar dari kamar atau―”
“Sudah. Tapi kondisi fisiknya memang lemah. Dan Ben sendiri seperti tak punya keinginan untuk bangkit dari keterpurukannya.”
Marla turut prihatin atas apa yang terjadi pada Ben dan kondisinya sekarang. Mengingat Ben yang terakhir kali bertemu dengannya adalah pria yang sehat dan ceria. Tapi yang barusan ia lihat, sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat.
“Begitu kamu memberi tahu akan datang ke Seattle, aku langsung memohon padamu untuk datang ke sini. Belakangan… Ben sering bicara tentang orang-orang yang sudah meninggal.”
Susan menahan sesak di dadanya ketika mengatakan hal barusan. Marla tahu itu. Ia bisa melihat bayang kesedihan di mata perempuan paruh baya itu.
“Aku takut… Ben akan menyerah,” lanjutnya, berusaha menyelesaikan kalimat tanpa menitikan air mata.
“Semoga kamu bisa memberikan pengharapan pada Ben. Selama ini, sudah banyak teman dan kerabat yang datang untuk memberi semangat, tapi hasilnya tetap sama. Kamu bisa jadi adalah harapan terakhir kami, Marla.”
Marla menggeleng, ada penolakan secara halus yang tersirat dalam sikap tubuhnya. “Aku tidak bisa menjanjikan apapun dan aku ragu bisa membantu Ben pulih.”
“Kumohon Marla.”
“Aku tidak tahu cara apa yang mesti aku lakukan untuk menolong Ben. Lagipula, kami sudah sangat lama tidak bertemu. Dan, empat tahun lalu, Ben sudah memutuskan akan menikahi perempuan itu, bukan?”
“Memang. Tapi kenyataan yang terjadi tidak seperti yang kamu bayangkan.”
“Maksudmu?”
Susan berhenti sejenak. Ia menatap nanar ke arah Marla. Dan berbagai tanda tanya, perasaan bingung, prihatin, dan juga kesal menjalari seluruh isi hatinya saat ini.

* * *

“James?”
Suara Sarah mengejutkan James yang terpaku pada lembar-lembar kertas di hadapannya.
“Hey. Sarah,” sapa James pada perempuan yang tengah berjalan ke arahnya.
Busy all the time?”
Not always. Hanya memeriksa beberapa laporan sebelum pertemuan dengan para seniman lusa nanti.”
Sarah duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Ben. Meja yang Ben pilih berada tepat di sebelah kaca yang mengarah ke jalan raya. Dengan meja setinggi dada dan kursi berkaki panjang.
“Kau bilang pertemuan tadi siang memalukan?” tanya Sarah. James memang mengirimi Sarah pesan singkat bertuliskan ‘holy shit’. Dan ketika Sarah membalas pesan tersebut, James hanya menjawab dengan kalimat pendek ‘pertemuan paling memalukan dengan klienku’.
“Aku telat lebih dari satu jam, Sarah.”
Mulut Sarah menganga lebar.
“Betulkah?”
James mengangguk.
“Kau orang paling tepat waktu yang pernah kukenal.”
“Kecerobohan. Aku manusia, dan bisa saja berbuat salah kan?”
Sarah tersenyum miris mendengar jawaban diplomatis James. Tapi tetap saja, keterlambatan James―apalagi melebihi setengah jam―adalah cara kerja terbodoh yang pernah Sarah dengar dari lelaki itu.
“Kau begadang semalam?”
“Tidak juga.”
“Lalu?”
“Sulit tidur.”
Sarah memajukan wajahnya. Ujung hidung dan tatapannya berada tepat di depan James kini. James mengangkat wajahnya dan menemukan ekspresi heran Sarah.
“Kau bukan pengidap insomnia, James.”
I was.”
“Maksudmu?”
James membenahi lembar-lembar kertas yang dipelototinya sejak tadi. Memasukkannya ke dalam case dan pergi ke meja bar untuk memesan minuman.
Saat James kembali, Sarah tengah menopangkan dagunya dan bersiap mendengar kelanjutan cerita James soal insiden tadi pagi dan penyebabnya.
“Entahlah. Hanya susah tidur.” James tahu Sarah menunggunya bicara, dan semoga kalimat barusan tak berbuntut pertanyaan lagi.
“Setelah dari kedai kopi kemarin, kau pergi kemana?”
“Aku langsung pulang.”
Sarah melipat kedua tangannya di depan dada. “Aku tahu.” Kalimatnya terpotong sekian detik. “Kau memikirkan perempuan Asia itu, kan?”
“Hanya terlintas. Aku masih penasaran kenapa Marla tidak datang. Ada banyak pertanyaan dalam kepalaku dan mungkin itu yang membuatku sulit tidur hingga bangun kesiangan.”
“Bodoh sekali.” Sarah menggerutu kini.
“Aku belum dapat kabar apapun dari Marla, Sarah. Wajar kan jika aku khawatir,” sahut James atas komentar Sarah barusan.
“Tapi memikirkan sesuatu yang tak pasti sampai merugikan diri sendiri adalah sesuatu yang sangat bodoh, James.” Sarah tak mau kalah. Ia tak bermaksud menyudutkan James atau dalam hal ini tentu kesalahan yang dibuat Marla. Tapi sebagai teman, Sarah harus memberi pandangan yang logis.
“Lalu apa yang kau dapatkan sekarang? Satu kabar pun belum, kan?”
James membuang pandangannya ke arah jalan. Sarah Parker menunggu James mengembalikan tatapan kepadanya, dan tentu ia bersiap dengan komentar selanjutnya.
“Hubungi Marlamu itu atau kau akan sulit tidur lagi malam ini.”
“Aku tidak punya nomornya.”
“E-mailnya?”
“Sudah kutulis, dan belum dijawab.”
“Tanya temannya atau siapapun yang kau kenal dari dia.”
James mengangkat kedua tangannya ke arah Sarah. “Aku hanya perlu menunggu sebetulnya.”
“Tapi tidak sampai membuatmu telat menemui klien dan membuat image yang buruk tentang diri sendiri.” Nada bicara Sarah terdengar kesal. “Yang perlu kau lakukan sekarang adalah mendapatkan kabar tentang dia secepatnya agar hidupmu bisa kembali tenang.”
James tak menyahut. Argumen panjang lebar Sarah barusan hanya ditanggapi dengan tatapan mata yang beralih ke meja bar. Ia menunggu minuman pesanannya selesai dibuat.
“Hey. James.”
Pemilik kafe mengangsurkan cangkir keramik putih dengan ukuran yang sedikit lebih besar. James bangkit, mengambil cangkir tersebut.
Thanks, Lou.”
Ketika James meletakkan minumannya di atas meja, ponselnya berbunyi. James merogoh saku celananya. Kecerobohan berikutnya, ia hampir saja menjatuhkan ponselnya itu. Untung saja, ponsel tersebut tidak jatuh ke lantai dan membuat panggilan terputus. Karena jika tidak mungkin James akan sangat menyesal.
Ya. Dia akan sangat menyesal karena yang menghubunginya sekarang adalah orang yang paling ditunggu-tunggu selama dua hari belakangan.
“Hallo?” sapa James pada si penelepon.
Hanya dalam jeda waktu dua detik saja, raut muka James berubah. Ia terlihat antara senang, khawatir dan penuh harap. Lalu menepikan ponsel tersebut dari telinganya dan menengok ke arah Sarah.
It’s her,” ucapnya, memberi tahu.


* * *

(bersambung)

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. Mas Robin tumben adaa typo-nya?
    Dibagian : "Sarah duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Ben. Meja yang Ben pilih berada tepat di sebelah kaca yang mengarah ke jalan raya. Dengan meja setinggi dada dan kursi berkaki panjang."
    Can't wait versi cetaknya mas :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kurang teliti waktu ngedit. sudah diperbaiki.
      Terima kasih ya koreksinya :)

      Hapus