NIGHTFALL - Satu Senja di Seattle #2
By Robin Wijaya - Agustus 10, 2013
Ada beberapa surat yang datang
dari James semenjak mereka berpisah di Roma dulu. Marla sedikit menyesal kenapa
ia membiarkan dirinya berlarut-larut dalam keraguan. Sementara beberapa minggu
setelahnya, James mengirimkan kabar yang lebih bersifat undangan kedua, ketiga
dan selanjutnya. Sayang, Marla tidak rajin memeriksa surat elektroniknya dan
membiarkan empat atau lima kabar dari James tersebut mengendap selama beberapa
waktu.
Malam dimana Marla telah melewati
kegamangan selama beberapa saat akhirnya mengantarkan ia untuk menghidupkan PC
dan mengetik sebuah pesan untuk James. Tapi sebelum ia melakukannya, Marla dikejutkan
dengan barisan surat yang belum terbuka yang telah dikirimkan James dari
Seattle.
James memulai surat pertama dengan
cerita kepulangannya kembali ke Seattle dan pertanyaan apakah Marla sudah
membaca buku yang ia kirimkan. Surat kedua, ketiga dan selanjutnya lebih banyak
menceritakan tentang aktifitas James di Seattle dan suasana di sana. Harus
diakui cerita-cerita yang disampaikan James cukup menggoda Marla untuk
melancong ke kota tersebut. Dan sebagai pelengkap, James selalu menyisipkan
satu baris kalimat undangan, akankah Marla datang ke Seattle suatu hari nanti?
Maka setelah membaca satu demi satu surat tersebut, Marla meyakinkan kalau ia
memang akan datang ke sana setelah menentukan tanggal dan menyiapkan segala
sesuatunya.
* * *
James Calvert sendiri tak bisa
menutupi kegembiraannya ketika membaca surat balasan Marla. Ia kira, Marla
sudah lupa pada sosok James, pada obrolan-obrolan James dan celoteh panjang
mereka di tengah keriuhan Roma akhir Juni tahun lalu.
Surat-surat yang tak pernah berbalas,
James kira telah menjadi jawaban penolakan Marla atas keengganannya untuk
datang ke Emerald City (sebutan bagi
Seattle sebagai kota zamrud karena banyaknya pohon hijau yang tumbuh di sana). Tapi
kabar sore itu seolah menjadi pelepas penat terbaik yang pernah ia dapatkan.
Marla berjanji kalau ia akan
datang paling tidak dalam enam bulan ke depan. James tahu ia perlu bersabar.
Marla perlu mengurus berbagai keperluan seperti visa, tiket dan perijinan
lainnya. Indonesia dan Amerika Serikat bukanlah jarak yang dekat. Perlu waktu
hingga dua puluh jam untuk terbang ke sini. Dan untuk janji tersebut, James
merasa ia tidak perlu memaksa. Bukankah itu hanya sebuah undangan, dan Marla
sudah memastikan kalau ia memang akan benar-benar berkunjung ke sini. Jadi, ia
hanya perlu bersabar menunggu sambil tetap berkirim kabar lewat e-mail,
mungkin?
James juga bukan pengguna aktif
jejaring sosial. Dimana orang-orang biasanya berkirim suka cita melalui status
atau gambar-gambar. James juga tidak keberatan jika dibilang sebagai orang
konvensional, yang menggemari e-mail sebagai media bertukar kabar. Baginya
kotak surat elektronik tersebut mampu memberikan kenyamanan tersendiri. Ia bisa
menulis apapun dengan sangat panjang, menyisipkan gambar dan banyak lagi yang
lainnya. Dan satu yang paling ia sukai, tentu privasi yang diberikan dimana
hanya ia dan orang-orang yang terhubung dengannya yang mengetahui obrolan di
antara mereka. Bagi James, itu saja sudah lebih dari cukup.
* * *
Seattle malam ini diselubungi awan
dan angin yang bertiup cukup kencang. James mengintip dari balik jendela apartemen-nya.
Lampu-lampu di sekujur kota berpendar seperti kunang-kunang. Barisan toko di
salah satu blog yang minus bangunan bertingkat lebih dari tiga membuat jalanan
tersebut terlihat seperti sapuan berlian dengan kerlap-kerlipnya yang khas.
James melirik jam tangannya. Sudah waktunya, ia bergumam sendiri.
Kemudian menutup tirai tebal dan bergegas mengenakan blazer dan scarf
penghalau dingin.
Malam ini seorang teman James
mengundangnya makan malam. Namanya Sarah. Sarah Parker. Mereka berteman di SMA
dan tetap menjalin pertemanan hingga dewasa. Sarah bekerja di sebuah perusahan
multinasional yang bergerak di bidang pengembangan teknologi IT. Ia mendapatkan
promosi jabatan, dan tentu James sebagai teman berada di balik kesuksesan
tersebut.
James Calvert adalah tipe pria
yang bisa dimintai pendapat dan nasihat. Ketika Sarah mulai bekerja di
perusahaan tersebut―menghadapi segala kesulitan kerja, tantangan, promosi dan
lainnya, ia akan selalu menceritakannya pada James, atau lebih tepatnya meminta
pendapat James.
Sarah mengakui intuisi James yang
kuat dan prediksi-prediksi pria tersebut yang sering tepat sasaran. Ketika
Sarah diberi tantangan laba marketing hingga tiga ratus persen dalam kurun dua
bulan, ia langsung pesimis. Tapi James bilang kalau Sarah mampu melampaui angka
tersebut. Seorang sanguinis seperti Sarah yang mudah masuk ke dalam lingkungan
manapun tentu bisa melakukan penjualan dengan tidak terlalu sulit.
James hanya meyakinkan, tapi yang
terjadi memang seperti apa yang ia katakan. Entahlah, Sarah pikir itu sebuah
magis. Asalkan kenyataan yang terjadi memberi keuntungan padanya, Sarah tak
memedulikannya lagi. Kini, ia hanya perlu menghubungi James, mengabarkan berita
gembira tersebut dan mentraktir James hingga perutnya menggelembung karena
kekenyangan.
“Hey, sudah lama menunggu?” Sarah
muncul dari luar resto, segera saja ia duduk di hadapan James.
“Tak cukup lama sampai kau bisa
memindahkan hujan di Seattle ke lautan,” kelakar James. Sarah tersenyum, bahkan
pria itu tetap elegan di dalam humornya.
“Jadi. Kau akan ganti mobil dengan
bonusmu itu, atau membeli satu ruang apartemen baru?” tanya James, menggoda
Sarah.
Sarah tertawa kecil sambil
merapatkan duduknya ke meja. “Aku rasa aku akan menggunakannya untuk liburan.
Atau… travelling ke benua lain yang cukup jauh.”
James mengulum senyum, ia
mengangkat tangannya, memanggil waiter
yang melintas.
“Kalau kau punya tiket lebih ke
Asia. Aku pikir aku bersedia diajak ke sana.” James melanjutkan percakapan
mereka.
“Asia? Aku pikir aku akan ke Greece atau Turkey.”
“Kau sudah pernah ke Greece.
Kenapa tidak mencoba tempat lain?”
“Aku perlu berfoto dengan Athena
dan mengucapkan terima kasih padanya.”
James tertawa renyah. “Karena dia
sudah mengajarkan padamu cara berperang mengalahkan kompetitor-kompetitor di
kantor?”
Sarah mengedikkan bahunya.
“Bagaimana denganku?” tambah James
lagi.
“Oh, James. Pergilah dulu ke Olympus,
dan minta pada Zeus untuk mengangkatmu menjadi dewa. Setelah kau dibuatkan
patung di Acropolys, aku baru akan ke sana untuk berfoto denganmu.”
Waiter datang bersamaan dengan tawa mereka berdua. Sambil
membuka-buka buku menu, mereka tetap membincangkan soal destinasi travelling
Sarah yang bahkan belum direncanakan.
Sarah menyukai Yunani. Ia adalah
penyuka sejarah, dan selalu mengagumi mitologi kebudayaan kuno tersebut. Ia
hapal di luar kepala dewa-dewi penghuni Olympus yang dipimpin oleh Zeus itu.
Bahkan kadang-kadang mengaitkan nasib dan keberuntungan dengan peran mereka.
Itulah sebabnya meskipun sudah pernah ke Yunani entah di waktu kapan, ia masih
tetap akan memasukkan negara tersebut sebagai tujuan perjalanan.
“Bagaimana dengan perempuan Asia
itu?”
James mengangkat wajahnya begitu
mendengar pertanyaan Sarah. “Marla maksudmu?”
“Ya. Dia. Aku tidak hapal siapa
namanya. Kau kan hanya cerita satu atau dua kali.”
James menyingkirkan buku menu dari
hadapannya sejenak.
“Dia akan datang ke sini.”
“Begitu?” Sarah terlihat antusias
saat mendengar jawaban James. Dan pria itu mengangguk-anggukan kepalanya
sebentar.
“Aku penasaran, seperti apa perempuan
yang telah berhasil memikat temanku ini.”
James terkekeh ringan. Pertanyaan
Sarah mungkin terdengar seperti pertanyaan teman-teman akrab pada umumnya. Tapi
cara Sarah mengekspresikan pertanyaan tersebut telah menunjukkan secara tidak
langsung bagaimana sosok Marla telah mengundang rasa penasarannya.
“Apakah kau jatuh cinta pada
pandangan pertama dengannya, James?”
James masih dengan seringai senyum
yang sama. Dan Sarah belum juga selesai dengan pertanyaannya.
“Aku kenal beberapa perempuan yang
kau taksir. Tapi yang satu ini tidak pernah membuatmu terlihat begini. Umm…
siapa tadi namanya?”
“Marla.”
“Ya. Marla. Aku rasa, dia memiliki
sesuatu yang spesial sehingga kau langsung tertarik padanya.”
James menunjuk satu menu sambil
memberi jeda waktu sebelum merespon dugaan Sarah barusan. Waiter cepat-cepat mencatatnya.
“Apakah Anda juga ingin memesan makanan
sekarang nona?” tanya waiter dengan
sopan kepada Sarah.
“Oh. Ya, tentu. Roasted chicken, dibuat setengah matang
dan aku minta red bean-nya diganti
dengan kacang polong saja.” Sarah me-request
menu untuknya.
Setelah James dan Sarah menentukan
makanan apa yang mereka pesan, waiter
mengambil buku menu, membuat meja di hadapan keduanya kembali kosong.
“Jadi?” Sarah belum putus asa
menunggu jawaban James rupanya.
“Aku pikir, aku hanya tertarik
padanya. Dia perempuan yang menyenangkan.”
“Hanya tertarik? Kau berbohong!”
Ya, James tahu kalau Sarah akan
berkomentar seperti itu.
“Aku memang tertarik padanya. Aku
menyukai obrolan bersamanya. Dan kebetulan dia juga seorang pekerja seni,
sehingga kami menjadi sangat nyambung.”
“Hanya itu kah alasan yang
membuatmu mengundang dia datang ke sini?”
Sarah memicingkan matanya.
Entahlah, hari ini dia datang seperti seorang wartawan. Dan Sarah betul-betul ingin
tahu tentang Marla.
“Aku ingin menjalin pertemanan
yang lebih akrab dengannya.”
“Alasan itu tidak cukup kuat
James.”
James menyerah pada akhirnya. Ia
mengangkat kedua telapak tangannya ke arah Sarah.
“Oke. Aku memang menyukai Marla.”
Bibir Sarah melengkung dengan
lebar sekarang. Ia menggamit sebelah tangan James, menariknya dan menepuk-nepuk
punggung tangan pria tersebut.
“Kudoakan semoga semuanya berjalan
dengan lancar.”
“Terima kasih.”
“Tapi James, di sini juga kan
banyak Asian. Kenapa kau tidak
tertarik dengan salah satu di antaranya?”
“Kau akan tahu setelah bertemu dia
nanti.”
Sarah merangkum kedua tangannya,
dan menumpukan dagu di sana. Ia menatap lurus ke arah James selama beberapa
saat.
“Baiklah. Akan kutunggu kedatangan
dia. Aku betul-betul ingin tahu sekarang.”
Dan tentu saja James punya
keinginan yang lebih kuat dibanding Sarah untuk menunggu Marla tiba di Seattle
dalam kurun waktu beberapa bulan lagi.
* * *
Marla membunyikan klakson,
melambaikan tangan pada petugas keamanan yang berjaga di pos. Mobil yang ia
kendarai perlahan meninggalkan pelataran parkir gereja yang memesan hiasan kaca
patri buatannya.
Semua pesanan sudah beres dan
Marla bisa bernafas lega sekarang. Paling tidak untuk satu atau dua minggu ke
depan pekerjaannya sudah berkurang. Ia hanya perlu mengejar setoran hiasan
kecil yang dipesan untuk pameran di sebuah hall
di kawasan perbelanjaan Jakarta. Itu pun tidak serumit dan sebesar yang mesti
ia kerjakan untuk gereja. Marla rasa ia tidak akan kewelahan mengejar deadline tersebut.
Di seputaran jalan menuju tol
dalam kota, Marla melihat barisan penjaja makanan kering. Tidak ada perayaan
khusus dan bukan bulan yang khusus juga, tapi penjual makanan ini tampak riuh
di sepanjang jalan.
Marla melihat beberapa penganan
yang ia suka. Kerupuk udang dan kerupuk ikan adalah salah satu camilan
favoritnya. Ia segera menepikan kendaraan ke salah satu lapak, turun dari mobil
dan memilih-milih kantong mana yang kira-kira akan dibawanya pulang.
“Baru datang semua, Neng. Masih
renyah.” Si penjual mulai mempromosikan dagangannya.
Marla hanya tersenyum sambil
menepikan satu-dua kantong yang sudah jadi pilihannya.
“Kalau yang mentah ada, Pak?”
tanyanya.
“Ada. Mau yang mentah juga?”
“Iya. Buat saya goreng sendiri.”
“Ada. Sebentar ya, Neng.”
Dengan sigap penjual tersebut
berlari ke salah satu kios semi permanen yang terbuat dari bambu dan papan.
Seorang wanita berkerudung langsung menyiapkan beberapa kerupuk mentah yang
sudah dikemas dan membawakannya pada si penjual.
Marla mengambil lagi dua kantong
tambahan. Ketika makanan-makanan tersebut dikemasi dalam kantong plastik hitam
besar, Marla teringat pada seseorang yang berada puluhan ribu mil dari sini.
Apa James suka kerupuk ya?
Marla malah tertawa sendiri
mendengar pertanyaannya. Lucu rasanya jika menanyakan itu pada James. Tapi ia
pikir tak ada salahnya membawa makanan khas Indonesia ini sebagai buah tangan
jika ia melancong ke sana nanti.
James pernah bercerita tentang
makanan yang ia suka lewat surat elektronik. James menyukai petualangan kuliner
dan ia gemar mencoba makanan-makanan baru yang belum pernah dimakannya. Ketika
ke Roma dulu, hampir semua kudapan yang disediakan oleh Lucia disantapnya
hingga tuntas. Favoritnya adalah fettucini
dengan saus tomat.
James yang kerap bepergian ke
belahan dunia lain selalu mengatakan kalau perjalanan kerjanya akan menjadi
petualangan yang menyenangkan jika dibarengi dengan berburu kuliner lokal.
Marla rasa, James memang perlu mencoba kerupuk ikan dan udang ini. Semoga ia
juga tak lupa membawa kecap dan saus sebagai pelengkapnya.
“Ini awet kan, Pak?” tanya Marla
pada penjual kerupuk tersebut.
“Awet Neng. Kan kering. Kalau mau
lebih awet bisa dimasukin ke kulkas, nanti sebelum digoreng dikeluarin dari
kulkasnya agak lama aja biar mengembangnya bagus.”
Marla mengangguk paham. Ia
menyodorkan selembar uang kertas merah kepada penjual tersebut untuk hasil
berburunya hari ini. Setelah menerima uang kembalian, Marla melanjutkan
perjalanannya kembali ke rumah.
* * *
From: Marla
Sebastian
Subject: see
you in Seattle
Dear James,
How’s life. It’s been 2 weeks since your last mail received. I was so glad
to get some pictures you sent about those lovely places. Even, I don’t know why
you love to spend your time by going to market. Promise me, you’ll take me to
Pike Place Market. Really love to see kind of flowers they sell there. And, how
about Downtown Seattle? A friend of mine told me, that spot is one of the best place
to explore.
Well, nothing compares but a best time to visit Seattle soon. And, I’m
gonna tell you, it will take a couple of month to meet that joyfull. If you
don’t mind, would you pick me up at the airport?
See you in Seattle, James. Hope we’ll have best moments.
A big hello from Indonesia.
Surat ketiga dari Marla sekaligus kabar
final kedatangan Marla ke Seattle. Marla meminta James menjemputnya di airport.
Dua bulan lagi, waktu yang singkat. Tapi entah kenapa, begitu selesai membaca
surat dari Marla itu, jangka waktu tersebut terasa sangat lama.
James tak sabar melihat Marla
menjejakkan kakinya di Sea-Tac (bandara internasional di Seattle), menarik
koper sambil melambaikan tangannya kepada James. Mungkin Marla akan tiba dini
hari, siang, sore atau malam. Entah di waktu kapanpun itu, James akan siap
dengan kedatangan perempuan tersebut.
* * *
2 bulan
setelahnya…
Di hari yang
telah mereka janjikan.
James menyimpan kedua tangannya di
saku jaket. Di luar airport hujan turun cukup deras. James memerhatikan papan
kedatangan, memastikan kalau nomor penerbangan dan maskapai yang membawa Marla
ke sini sama seperti yang ia beri tahu beberapa waktu lalu.
Kedatangan dari Jakarta akan tiba
beberapa menit lagi. Mungkin dalam waktu dua puluh menit Marla akan muncul,
setelah melewati bagian imigrasi, pengurusan visa, bagasi dan yang lainnya.
Dengan sabar James menunggu.
Di sekitarnya orang-orang yang
menanti kedatangan teman, kerabat atau keluarga sama gelisahnya seperti dia.
Tapi kegelisahan tersebut justru membuat James menjadi tenang. Dia tidak merasa
sendirian. Dia tahu bagaimana perasaan orang yang sedang menunggu. Dan yang
James rasakan sekarang tergambar dari wajah-wajah mereka.
Lima hingga sepuluh menit waktu
berlalu. James belum jenuh sedikit pun. Pesawat yang ditumpangi Marla sudah
mendarat. James hanya perlu menunggu beberapa menit lagi.
Menit kesepuluh hingga kelima
belas. James membayangkan sosok perempuan dengan rambut yang menyapu bahu
muncul sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Setelah melewati menit kelima
belas, James merasakan sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Ia semakin tak
sabar untuk segera bertemu Marla. Tapi yang dinanti, belum juga menampakkan
diri.
Menit demi menit berlalu. James
yang semula gelisah, kemudian mencoba tenang, kini kembali tampak gelisah.
Kenapa Marla lama sekali?
James mencoba berpikir positif dan
beranggapan kalau proses imigrasi mungkin memakan waktu yang tak sebentar.
Tetapi ketika waktu semakin melangkah jauh, James merasa ada sesuatu yang tak
mengenakan yang mugkin akan ditemuinya. Berkali-kali ia melirik jam tangan yang
melingkar di pergelangan tangannya. Mencocokkannya dengan jadwal penerbangan.
Tidak ada yang salah. Tapi kenapa Marla belum juga muncul. Kemana dia?
Sambil menunggu, James menanyakan
informasi penerbangan ke petugas bandara. Ia berharap jadwal tersebut memang
salah. Tapi ternyata tidak. Pesawat memang sudah tiba dan semua penumpang
dipastikan sudah turun.
Marla, kemana dia?
Beberapa pertanyaan mulai muncul
dalam kepala James kini.
* * *
James duduk di kursi ruang tunggu.
Ia menautkan kedua tangannya, menumpukan dagu dalam kepalan tersebut. Sudah
lebih dari satu jam ia berada di sini. Dan selama itu pula, ia tidak mengalihkan
pandangannya pada pintu kedatangan.
Selama ia ada di sini, entah sudah
berapa banyak orang yang bertemu dan saling melepas rindu. Semula James
membayangkan kalau salah satu di antara orang-orang tersebut adalah dirinya dan
Marla. Tapi yang sekarang ia dapati adalah kepastian menunggu yang tak
berujung.
James menghela nafas. Sejumlah
pertanyaan dalam kepalanya bersahutan tanpa jawaban. Dia bahkan tak menyiapkan skenario
seandainya Marla mengingkari janji kedatangannya. Jadi, apa yang sekarang mesti
dilakukan, James sendiri tak tahu.
Ia merogoh saku jaketnya.
Mengambil ponsel, dan membuka kontak. Nama Marla ada di sana. Dan data yang ia
miliki hanyalah alamat email perempuan tersebut.
Bodoh sekali, bahkan percakapan mereka selama
ini tak juga pernah menyebut nomor ponsel atau telepon masing-masing. Hanya
karena ia sangat percaya pada Marla kah? Atau Marla memang sengaja tak mau
meninggalkan jejak? Atau James yang selama ini terlalu nyaman untuk sekadar
bertemu di ruang kecil bernama e-mail?
James mengurut keningnya. Ia
menarik nafas dan mencoba meyakinkan dirinya untuk menunggu lebih lama lagi.
Tapi waktu yang berlalu tak juga
berbaik hati mewujudkan harap dan keinginannya.
Ketika ia lelah dan hampir
menyerah, perempuan yang ia tunggu tak juga datang menemuinya.
James menyadarkan dirinya untuk
melangkah pulang.
Tanpa kedatangan Marla.
* * *
Bersambung...
6 komentar
Marla kemana koh :'(
BalasHapustunggu sampai postingan ketiga ya :)
Hapusmarla ke mana iniiiiii ><
BalasHapusakan terjawab di chapter ketiga. ditunggu saja :)
Hapusnice :D
BalasHapuske mana gadis yang bernama Marla?
apa tiba2 dia membatalkan penerbangan di saat-saat terakhir?
hihihii :D
ayoo... sudah baca chapter satunya belum?
Hapus