NIGHTFALL - Satu Senja di Seattle #6
By Robin Wijaya - September 17, 2013
Ini malam minggu?
Bekerja tanpa jadwal kerja harian
seperti kantor kadang membuatnya tak benar-benar hapal hari apa sekarang. James
lebih sering ingat tanggal ketimbang hari. Ia menaruh jadwal-jadwal di
organizer-nya dengan tanggal dan bulan. Ia tahu di tanggal berapa mesti bertemu
kliennya, ia berusaha mengingat di tanggal berapa undangan pesanannya selesai
dicetak, ia tidak pernah lupa tanggal berapa mesti datang ke ekshibisi.
Lagipula, apa pentingnya hari? Kadang James bekerja di hari minggu. Kadang ia
berlibur di hari selasa. Dan soal malam minggu, memangnya James peduli? Sejak
putus dengan pacar terakhirnya, James tak punya hari spesial lagi. Dan kencan
kan tak harus selalu dilakukan di malam minggu.
“Ini malam minggu James. Jadi
anggaplah ini kencan,” kata seorang temannya ketika James berjalan keluar
restoran cepat saji.
“Aku tidak pernah menyebutnya
begitu, tapi kami memang akan bertemu nanti sore.”
“Nah. Apa lagi yang dilakukan pria
dan wanita saat mereka bertemu di malam minggu selain sebuah kencan. Kau bukan
anak kecil James, dan aku juga. Kita sama-sama tahu maksud pertemuanmu malam
ini.”
James tak menjawab. Mereka menepi
sebentar di pinggir jalan, di dekat sebuah asbak logam yang berada di
tengah-tengah hamparan trotoar lebar dan pohon-pohon rindang. Temannya itu
mengeluarkan sebatang dan rokok dan menyulutnya. Sementara James mengeluarkan
sebutir permen sebagai pengganti nikotin.
“Kau tampak berbeda sejak
kemarin,” kata temannya lagi.
“Tidak ada yang berbeda.” James
mencoba menyangkal.
“Kau mungkin tidak merasakannya. Orang-orang
di sekitarmu tahu perubahan itu.”
James terlihat acuh atas komentar
itu. Tapi sebetulnya, setiap kalimat yang masuk ke telinganya, ia dengarkan
dengan baik.
“Karena perempuan itu kan?” tebak
temannya.
James hanya mengedikan bahu. Tak
sepenuhnya salah, karena ia memang tertarik pada Marla. Tapi ia juga tak tahu
bagaimana memberi tahu temannya atau orang-orang di sekitarnya kalau ia dan
Marla memang tidak pergi berkencan. Sejak awal, mereka memang hanya menganggap
ini sebagai pertemuan teman dengan teman. Meski sebetulnya, James berharap
lebih dari itu.
“Baiklah, karena kau selalu
mengatakan tidak. Jadi lebih baik aku memaksamu untuk melakukan sebuah kencan
malam ini.”
“Maksudmu?”
“Prepare yourself for the date tonight, man!”
“What do―”
“Belilah bunga, kenakan jas
terbaikmu, pakai parfum yang menggoda, pilih tempat makan yang nyaman dan…
siapkan obrolan terbaik untuk kalian berdua karena obrolan bisa membuat seorang
wanita merasa dekat dan membawa kalian ke momen yang sangat intim.”
James baru akan angkat bicara
lagi. Tapi temannya itu cepat-cepat mematikan rokok dan mendorong James untuk
pergi dan mempersiapkan diri.
* * *
Pertemuan tersebut akhirnya tidak
terjadi di Pike Place Market seperti rencana mereka semula. Pada akhirnya James
memang mengikuti saran temannya itu. Ya, dia pikir sekarang memang saat yang
tepat untuk mulai menunjukkan kepada Marla kalau ia tertarik pada perempuan
itu.
James mengirim pesan singkat
kepada Marla, meminta Marla untuk tidak mengenakan jeans dan kaus dengan
pakaian hangat yang akan melindunginya jika hujan turun dan mengubah suhu udara
menjadi lebih dingin. Mungkin Marla bisa menggantinya dengan sesuatu yang lebih
formal seperti gaun misalnya. Marla menurut saja, dan sepertinya ia memang tahu
kalau mereka tidak akan pergi ke pasar rakyat dan berjalan di tengah kerumunan
pengunjung lokal maupun turis.
Tujuan Pike Place Market itu
benar-benar diubah, begitu yang Marla pikir. Karena sesaat kemudian, ia melihat
seorang lelaki tengah berdiri memunggunginya. Ia mengenakan jas hitam yang
terlihat rapi tapi tetap kasual, seperti penampilan James kemarin-kemarin yang
selalu terlihat menyenangkan. Tapi kali ini, Marla harus mengakui kalau
sepertinya James memang sudah mempersiapkan diri. Ia menata rambutnya lebih
rapi, wajahnya terlihat seperti dicuci bersih dan diolesi pelembab. Ada aroma
yang menguar lembut dari tubuh lelaki itu saat Marla berjarak cukup dekat
dengannya. Aroma yang maskulin tapi sekaligus menenangkan saat melintasi indra
penciumannya, berkelas dan mampu mencuri perhatian.
“Hai,” sapa Marla.
James berbalik. “Hai.” Dan mereka
berdua diam selama beberapa jenak.
James mengulurkan sesuatu kepada
Marla. “Untukmu.” Marla mengurai senyum gembiranya. Ia meraih buket bunga
tersebut. Rose, warnanya merah muda. Beberapa tangkai yang dibalut dengan
lembaran kertas putih tipis dan plastik bening yang terkemas menarik.
“Terima kasih.”
“Semoga kau suka.”
“Aku sangat menyukainya.”
“Syukurlah.”
Marla tertawa kecil untuk itu, dan
James sedikit kikuk setelahnya. James menarik tepi bawah jasnya, merapikan
sedikit.
“Kau suka wine?”
“Tak terlalu. Tapi suasana di sini
sepertinya akan membuat aku menyukainya.”
“Keberatan jika kuajak ke sebuah
tempat untuk menikmati wine?”
“Tentu tidak. I’d love too.”
James menekuk lengan kanannya,
menyodorkannya ke arah Marla. Ia melihat bahasa tubuh James itu, dan dengan
isyarat mata, James meminta Marla ikut dengannya.
Marla segera meraih lengan
tersebut, melingkarkan tangannya di lengan James.
“Kau lucu sekali hari ini,” kata
Marla.
“Apapun yang kau lihat, aku senang
jika itu membuatmu senang.”
“Kau selalu membuatku senang sejak
kita pertama bertemu, James,” puji Marla.
“Aku hanya tidak ingin melakukan
sesuatu yang menyebalkan.” James mulai melangkahkan kaki dan Marla tetap
bersisian dengannya.
* * *
Pertemuan itu memang terlihat
seperti kencan. Seorang pria dan wanita duduk berhadapan di sebuah meja bulat.
Ada bunga dalam jambangan dan menu makan malam yang lezat. Lilin kecil dalam
gelas kaca bulat memberikan kesan hangat dan romantis di antara obrolan
keduanya. Barulah, setelah perut terisi, mereka memanjangkan waktu lewat
percakapan ringan dengan wine dalam
gelas bertangkai panjang.
Obrolan tersebut tak juga kunjung
usai. James punya banyak hal untuk dibagi malam ini, dan Marla mendengarkannya
sambil menopangkan dagu dan mengangguk-angguk sesekali. Kadang ia mengangkat
wajahnya, meraih gelas wine,
menghirup aromanya, kemudian tertawa kecil mendengar humor James yang
menggigit.
Sementara James yang melihat Marla
duduk tanpa kebosanan merasa ia benar-benar melakukan yang terbaik untuk
‘kencan’ malam ini. Ya, ia pun belum mau cepat selesai. Ketika kebungkaman
muncul lebih dari sepuluh detik. James tahu, ia perlu menyodorkan sesuatu yang
baru, hanya untuk sesuatu: membuat ia bisa punya waktu lebih lama untuk berdua
bersama Marla.
* * *
Selesai makan malam, mereka
kembali ke downtown. Tempat ini tak pernah membosankan. Pohon-pohon besar dan
rindang menutupi sebagian langit, tapi jangan khawatir suasana gelap akan
memenuhi halaman-halaman batu yang ramai dilalui orang. Tiang-tiang lampu dan
sejumlah toko memberi penerangan sendiri. Justru suasana santai dan romantis
seolah menjadi latar dengan adanya perpaduan lampu dan tanaman-tanaman yang
meneduhkan.
“Kau akan kemana besok?” tanya
James pada Marla.
“Entahlah. Kalau kau tak menawari,
aku mana tahu akan pergi kemana.”
“Bagaimana kalau kita bertemu sore
hari lagi? Sampai malam. Seperti hari ini. Kita pergi ke Murrow Bridge,
menikmati sunset dekat Danau Washington.” James menawarkan ide.
“Kedengarannya menyenangkan.”
“Tentu.”
Marla berhenti sejenak. James ikut
berhenti, mereka berdiri di sana sebentar, lalu ia menarik tangan Marla dan
memilih salah satu bangku untuk duduk di sana.
Keduanya menjatuhkan tubuh di
sana. Marla menghela nafas, tampaknya sedikit lelah setelah berjalan kaki untuk
jarak yang tak dekat. Sedangkan James, terlihat baik-baik saja.
“Marla,” panggil James.
“Iya?” Marla menoleh spontan.
“Kau suka sunset?”
“Kau suka?”
“Sangat.”
“Kenapa?”
“Because, I fell, I’m coming home anytime I see the sun lay down the
earth.”
Marla meneliti air muka James yang
baru mengucapkan kalimat barusan.
“Ada cerita tentang itu?” tanya
Marla lagi. James melirik ke arahnya. Ia menggeleng.
“Nothing. Tapi aku menyukai rumah.”
“Everybody needs home.”
“Yeah. How far we go. At last, we’ll come home someday.”
Marla meraih sebelah tangan James,
menaruhnya di atas pangkuan, dan menepuk-nepuk punggung tangan tersebut lembut.
“And I’ll be home too someday,” ucapnya.
“Kau tidak sedang berkata utuk
pulang ke Indonesia segera kan?”
“Nope. Home means everywhere for me. Mungkin ditemukan dalam perjalanan,
atau sebuah tempat yang terasing. Tapi artinya tetap sama, rumah adalah ruang
yang membuat kita selalu merasa nyaman.”
Dalam terpaan cahaya-cahaya di
sekeliling, bibir James terlihat melengkung perlahan. Ia merasakan arti nyaman
tersebut saat mendengar Marla mengatakan kalimat tersebut barusan.
“Let’s go home now. I’ll drive you.” James bangkit berdiri.
“Aku bisa naik taksi, James.”
“Aku juga mengantarmu kemarin,
kan?”
“Hanya khawatir jika merepotkanmu.
Jadi kali ini, aku rasa aku bisa pulang ke penginapan sendiri.”
“Untuk kali ini tidak.”
“Kenapa?”
“Because boy always drives his girl home on his dating.”
Kencan? Marla meringis geli. Tapi
ketika James mengulurkan tangannya, ia menerimanya dan menggenggam di sepanjang
perjalanan pulang.
* * *
“Sore ini kan?” tanya Marla di
telepon. James menjawab ya. Tentu ia tak lupa tawaran yang dibuatnya.
“Baiklah. Kau bisa menjemputku
kalau begitu,” sambung Marla, sebelum percakapan tersebut ditutup.
Tepat ketika Marla dan James
menyelesaikan percakapannya. Ponsel Marla langsung berdering. Tanpa melihat
lagi nomor penelepon tersebut, Marla segera saja menjawabnya. Ia pikir, mungkin
itu James lagi. Ia lupa memesan sesuatu atau memintanya untuk tidak mengenakan
kaus dan jeans lagi. Tapi ternyata, suara yang muncul dari telepon tersebut
bukanlah suara seorang lelaki.
Dengan nada cemas dan tergesa
seperti yang diterimanya beberapa waktu lalu, perempuan itu memohon sesuatu
pada Marla.
Ternyata, Susan yang meneleponnya,
dan permintaan itu datang kembali kali ini.
Marla mendesah, cemas dan ragu. Kemungkinan
segala rencana akan berubah tiba-tiba.
* * *
(bersambung)
1 komentar
Marla memilih yang mana? Penasaran nih...
BalasHapus