NIGHTFALL - Satu Senja di Seattle #5

By Robin Wijaya - September 01, 2013






James tak menyoalkan kemana Marla dua hari ini. Marla bilang ia ada di Richland, berita itu saja sudah cukup bagi James. Lagipula Marla tak menyinggung apapun soal Richland. Selama berada di kafe tadi, obrolan mereka terasa normal-normal saja. Marla cerita tentang hidupnya di Indonesia, James berbagi cerita soal Seattle. Dan James rasa, itu bisa jadi get to know yang menyenangkan. Ia tahu apa yang biasa Marla lakukan, kesibukannya, kesukaannya, dan cara ia mengusir jenuh ketika lelah bekerja.
Selepas dari Espresso Vivace Alley, James bertanya apakah Marla ingin jalan-jalan? Marla tidak sedang dalam keadaan lelah, dan ia datang ke sini memang untuk menikmati suasana kota. “Bagaimana jika kita ke downtown?” tanya Marla.
James mengulum senyum. Ia yakin, Marla akan bertanya tempat yang satu itu. Jadi James memang tidak salah pilih kafe.
“Aku rasa akan menarik,” jawab James. “Bagaimana kalau kita membuat kesepatakan?” tanya James, menawari.
“Kesepakatan?”
“Yep. Jika aku menemanimu ke downtown malam ini, kau harus bersedia untuk pergi bersamaku besok siang.”
“Apa ini semacam tawaran?”
“Tentu.”
Marla menimbang-nimbang sejenak, meski sebenarnya ia tak akan menolak tawaran James tersebut. Dan lelaki yang ada di hadapannya itu menghirup kopinya sekali lagi, menunggu.
“Setuju,” kata Marla.
“Okay. Ayo kita keluar sekarang,” ajak James. Ia segera berdiri penuh semangat.
“Koperku?”
“Aku bawa mobil, kau bisa taruh di sana. Tapi, untuk jalan-jalan ini, lebih enak kalau kita berjalan kaki saja.”
“Baiklah.”
Keduanya segera berlalu keluar kafe. James membuka bagasi mobilnya, mengambil alih koper dari tangan Marla dan memasukkannya ke sana. Sejenak sebelum mereka jalan, James diam di samping mobilnya, ia menyimpan kedua tangannya di saku blazer, memandang Marla beberapa detik dalam diam.
Sebagian dari pikirannya berkata, tak yakin kalau perempuan itu ada di sini sekarang. Beberapa hari yang lalu ia mengalami kegelisahan dan tanda tanya besar. Kemana Marla setelah janji yang dia katakan? Penantian di ruang tunggu airport telah memberi hasil yang sia-sia. Dan perlu waktu dua hari lagi setelah itu untuk menanti kepastian Marla. Jika saat ini keberadaannya di Seattle hanyalah terhitung menit atau jam, James tak keberatan untuk mengalihkan semua aktifitasnya sementara hanya untuk menghabiskan waktu bersama Marla.
“Kenapa James?” tanya Marla.
James baru kembali dari bayang-bayang pikirannya sendiri. Ia menggeleng cepat. Seolah, ia baru tersadar dari tidur dan mimpi yang panjang.
Nothing,” jawabnya kikuk. “Ayo, kita jalan sekarang.”
Marla mengurai senyum, ia segera menyusuri jalan di samping James. Langkah mereka terlihat cepat, tapi bukan berarti melewatkan suasana yang menyenangkan di seputaran kota ini.
Pine Street banyak dihuni tempat-tempat berbelanja. Mulai dari Nordstorm, Pacific Place, Westlake Center dan yang lainnya. Area pejalan kaki yang cukup lebar bisa dibilang nyaman dan aman untuk dilewati. Ada pepohonan yang tumbuh dalam jarak di sepanjang jalan ini. Lampu-lampu toko dan pantulan cahaya dari kaca bangunan memberi warna yang menggairahkan meski hari tak lagi terang.
“Jadi, bagaimana pekerjaanmu di sini?” Marla memulai percakapan lagi.
“Hmm?” James menengok ke arahnya. Sepertinya ia kurang mendengar apa yang Marla tanyakan.
“Pekerjaanmu?”
“Menyenangkan.” James punya jawaban yang singkat. Dan jawaban singkat tersebut bukan cuma sekali ini Marla dengar. Beberapa kali James juga menjawab dengan cara yang sama. Marla ingat Leo tiba-tiba. Mantan pacarnya itu juga punya kebiasaan yang sama. Hanya menjawab dengan kalimat yang diperlukan saja. Atau jangan-jangan semua lelaki memang begitu? Ah, rasanya tidak. Ben tidak begitu. Ben bicara panjang dan lebar.
Ben? Marla bicara pada dirinya sendiri. Kenapa mesti mengingat Ben sekarang ini? Marla berusaha mengusir nama itu secepatnya. Atau, nama siapapun. Ia tak ingin mengusik malam ini dengan nama-nama lain.
“Apa kau tidak mau menceritakan sesuatu yang lebih tentang pekerjaanmu?”
“Oh, tentu.”
James berdeham. “Kau mau aku menceritakan dari bagian yang mana dulu?”
“Yang mana saja. Sesukamu.”
James diam sebentar, seperti tengah berpikir.
“Seperti yang kau tahu saat kita bertemu di Roma dulu. Pekerjaanku adalah mengorganisasi kegiatan-kegiatan seni semacam pameran, lelang dan yang lainnya.” James membuka cerita.
Marla merespon dengan anggukan dan suara berdeham dari dalam mulutnya.
“Aku bertemu banyak sineman, kurator, pemilik galeri, kolektor barang seni, dan lain-lain. Di hari-hari biasa seperti ini aktifitasku kebanyakan diisi dengan membalas e-mail, pergi ke galeri, mengecek lokasi dan lain-lain. Tapi saat sudah mendekati hari-H, aku akan lebih sibuk.”
“Kau menikmatinya?”
“Tentu. Aku sangat suka pekerjaanku.”
“Apa akan ada kegiatan dalam waktu dekat ini?”
“Ya. Ada acara di Galeri Seni Henry. Itu yang terdekat. Minggu depan, dan aku baru ingat kalau belum memeriksa ulang daftar tamu yang akan datang.”
Marla meringis, “Kau bisa lakukan besok kan?”
“Tentu. Hanya memeriksa, bukan pekerjaan sulit.”
Marla mengangguk.
“Dan dua pekan lagi, Frye Art Museum akan menggelar pameran lukisan dan patung. Aku tidak terlibat dalam proyek di museum besar itu. Tapi… kau tahu kan, aku selalu ingin datang. Dan aku pikir, aku memang akan datang ke sana.”
“Ya. Kau selalu menyukai seni kan?”
“Begitulah.”
Keduanya tertawa kecil di tengah obrolan itu. Lalu setelahnya, mereka berjalan dalam keheningan selama beberapa saat.
“Kau juga selalu menyukai seni kan?” tanya James akhirnya.
“Tentu. Kalau tidak, aku tidak akan jadi seniman.”
James mengangguk beberapa kali. Lalu seperti semula, ia diam kembali.
Sebetulnya, James adalah tipe presenter yang selalu bisa membawakan cerita dengan menarik. Ia adalah teman ngobrol yang asik dan punya banyak topik yang bisa datang silih berganti. James punya kepribadian terbuka dan selalu memerlukan teman untuk memenuhi gairahnya dalam berbagi kesenangan. Ia senang bersosialisasi atau memulai pertemanan dengan orang baru. Itulah sebabnya James bekerja di bidang dimana ia mesti berinteraksi dan bertemu manusia. James menikmati pekerjaannya itu, dan bukan cuma sekadar menikmati, ia membutuhkannya sebagai ruang yang membuat hidupnya tak pernah sepi dan monoton.
Tapi entahlah, kenapa sejak tadi ia merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Gugup? Mungkin begitu. Meski obrolan selalu mengalir di antara mereka, tapi tak bisa dipungkiri kalau James merasakan sesuatu yang canggung sesekali. Terlebih, ketika ia menatap mata Marla. Ia merasa perhatian Marla atas setiap kata-kata yang diluncurkannya membuatnya ikut tersedot ke dalam sana.
“Soal kesepakatan itu.” Marla menoleh ke arah James. “Apa kau tidak repot jika harus menemaniku dari siang?”
James mengangkat bahu. “Kurasa tidak. Maksudku, tidak sama sekali.”
“Kau tidak sedang ada pekerjaan penting?”
“Pekerjaan selalu penting Marla. Tapi untuk besok, aku akan menyiapkan waktu. Aku yang menawarimu kan?”
“Ya.”
James berhenti di persimpangan. Lampu lalu lintas masih menyala hijau. Ia menunggu kendaraan-kendaraan berhenti untuk menyebrang. Marla ikut berdiri di sampingnya.
“Tempat apa yang akan kita datangi besok?” tanya Marla.
“Menurutmu?”
“Aku lihat Space Needle di google, dan banyak orang yang membahasnya.”
“Kau mau ke sana?”
“Jika tempat itu menarik.”
Lampu lalu lintas berubah merah. Orang-orang segera melangkah, menyeberangi jalan. James dan Marla ada di antaranya.
“Menarik. Hanya saja, aku tak terlalu mengagumi Space Needle seperti orang-orang membicarakannya.”
“Oh ya?”
“Ya. Tapi jika kau mau ke sana, aku akan menemanimu. Mungkin kita bisa mampir ke Experience Music Project sekalian. Ada Seattle Monorail juga kalau kau ingin kembali menjelajahi downtown.”
Mereka berbelok, masih di tengah keramaian downtown dan suasana yang tampaknya tak akan padam dalam waktu yang sebentar.
“Kau suka seni, dan aku yakin kau akan menyukai tempat itu.”
“Kau sering ke sana, James?”
“Beberapa kali.”
Marla tersenyum pada James. “Kurasa aku akan memilih tempat itu.”
“Apapun alasan yang membuatmu ingin ke sana, aku akan tetap mengantarkanmu.”
Sambil menatap Marla, James memikirkan kata-kata yang barusan ia katakan. Karena Marla masih melihatnya dengan tatapan yang itu-itu saja, dengan seulas senyum yang tak juga reda.

* * *

Pada akhirnya Seattle Center adalah tujuan mereka berdua menghabiskan waktu sore ini. Ada banyak tempat selain Space Needle yang bisa mereka nikmati. International Fountain, Glass Museum, Pacific Science Center dan tentu Experience Music Project seperti yang James bilang kemarin.
Marla dan James janji bertemu di satu ruas jalan. Di antara kerumunan orang yang lewat, di antara anak-anak kecil yang berjalan kaki menikmati suasana kota bersama orang tua mereka atau pun hewan peliharaan. Percakapan dan suara angin yang menembus celah-celah pohon menjadi latar ketika dua orang itu bertemu. James yang setia dengan blazer gelap dan kemeja putih di dalamnya, berjalan menghampiri Marla. Di hadapannya, perempuan Asia itu terlihat anggun dengan dress sederhana berwarna tosca. Seperti biasanya, Marla menggerai rambutnya itu tanpa pernak-pernik apapun di kepala. Dan James menyukai gaya sederhana Marla itu. Ia juga menyukai apa yang dilihatnya ketika Marla menarik helaian rambutnya dan menyelipkannya ke belakang telinga. Entah kenapa.
“Hai.” Marla menyapa singkat.
“Hai.”
“Blazermu keren,” puji Marla. James menyeringaikan senyum kecil yang memunculkan barisan giginya.
“Kau juga. Kau terlihat cantik hari ini.”
Marla tersipu ketika menerima pujian itu. Tak bisa dipungkiri, pujian selalu mampu membuat setiap wanita bersemu karenanya. Dan James menyukai fakta tersebut, karena ia suka mimik wajah Marla ketika terlihat malu-malu.
“Mau jalan sekarang?” tanya James.
“Tentu.”
“Ayo.” James memutar tubuh, dan Marla segera bersisian dengannya.
James mendongak ke langit sebentar. Seperti biasa, langit Seattle selalu terlihat mendung. Tapi untungnya tak ada kabut yang menyesap di antara sela-sela angin, dan James berharap hal itu memang tidak akan terjadi.
Beberapa saat mereka tak saling mengisi obrolan apapun. James rasa Marla sedang menunggunya membuka obrolan. Tapi sepertinya James mengalami hal yang sama seperti yang ia alami kemarin. Apa sebetulnya yang membuat ia begitu? Ia sendiri tak tahu. Marla, hanya Marla. James berpikir, apa yang membedakan Marla dengan perempuan lainnya? Mungkin tidak ada. Jadi James rasa, masalah itu tentu datang dari dirinya sendiri. James hanya terlalu kikuk menghadapi situasi ini.
Sebelum menemui Marla, pikiran James sudah lebih dulu diisi bayangan dan pengandaian-pengandaian. Mungkin nanti ia akan membicarakan ‘ini’ dengan Marla. Mungkin nanti pertemuan mereka akan seperti ‘itu’. Mungkin Marla akan mengajaknya ke suatu tempat. Atau mungkin James ingin mengundang Marla mampir ke apartemennya. Dan berbagai hal lainnya. Jadi, bisa dibilang James tidak menghadapi pertemuan ini dengan santai. Padahal, ini kan hanya pertemuan? Bukan kencan kan? Setidaknya, tidak diakui secara resmi sebagai kencan.
Bicara soal kencan, James Calvert sendiri bukan tipe lelaki yang mudah berganti pasangan. James hanya punya beberapa orang mantan yang jumlahnya tak lebih dari lima sejak ia remaja dulu. Di masa-masa pubertas, ketika semua cowok mulai mengejar lawan jenis, James hanya melirik-lirik saja. Ia tak benar-benar bergerak untuk itu. Teman-temannya bilang, James itu lelaki freak. Freak pada perasaan dan sensitivitasnya terhadap wanita. Ayolah, lelaki mana sih yang tidak dengan mudahnya berusaha memikat lawan jenis mereka ketika bertemu. Mereka punya seribu satu cara. Lalu setelahnya, pergi minum dan mungkin berakhir dengan bercinta atau menentukan waktu untuk sebuah kencan. Kebanyakan begitu kan? Tapi James tidak. Orang-orang yang ada di sekitar James berpikir dia itu complicated. Bahkan kadang rekannya berpikir James itu gay, dan untuk kota se-liberal Seattle ini, James mestinya tak sulit mengakui orientasi seksualnya itu. Dan James cuma geleng-geleng kepala, heran melihat kesimpulan teman-temannya itu.
James mendongakkan kepala sekali lagi. Ia tengah berpikir, mungkin bicara soal cuaca akan jadi topik yang oke. Bisa saja kan memunculkan kalimat, ‘Langitnya cukup bagus. Pergi ke Space Needle sekarang memang pilihan yang tepat. Kita bisa melihat pemandangan kota Seattle dengan bebas, tanpa terhalang apapun’. Tapi yang keluar dari mulut James ternyata berbeda sama sekali.
“Jalanannya ramai ya,” kata James. Saat ia akan mengucapkan kalimat panjang dalam pikirannya, bertepatan dengan saat Marla mengalihkan tatapan kepadanya.
“Oh ya? Apakah selalu seperti ini?”
“Ya. Ini kan kota besar.”
Marla mengangguk-angguk, mungkin ia paham, atau mungkin juga ia berusaha menghargai kata-kata James barusan.
“Jadi, di tempat lain lebih sepi?”
“Kurasa begitu. Ya, kurasa.”
Oh, bodoh sekali. James memaki dirinya sendiri. Apa sih yang ada dipikirannya? Apa menariknya sih omongan tadi?
“Sebetulnya, aku lebih suka tempat-tempat yang sepi.” Marla menyambung pembicaraan.
“Begitu?”
“Ya. Aku menghargai kesunyian. Kau tahu kan, bekerja dengan seni, maksudku pekerjaanku. Aku butuh konsentrasi, aku butuh suasana tenang. Mungkin karena bertahun-tahun melakukan aktifitas seperti itu, aku jadi terbiasa.”
“Jadi, kau tidak suka keramaian?”
“Bukan. Hanya saja, aku lebih suka tempat-tempat yang sepi. Tapi bukan kuburan ya James. Aku tidak suka sama sekali.”
Marla tertawa. James ikut tertawa mendengar kalimat Marla barusan. Rasanya, suasana jauh lebih baik setelah James bisa mengendurkan otot-otot di wajahnya lewat tawa barusan.
“Berarti aku tidak jadi mengajakmu ke Pike Place Market.”
“Kemana?”
“Pike Place Market.”
“Oh. Kau belum cerita tentang tempat itu.”
James juga baru terpikir tadi, saat ia akan datang ke sini. Di sana kan ada Smith Tower, dan ada kedai kopi milik Starbucks yang pertama kali didirikan. Ada juga restoran Jepang dan komunitas orang Asia. James pikir, Marla pasti suka.
“Tak jadi soal. Kemana pun, aku suka. Aku kan datang ke sini untuk berwisata.”
“Yeah, benar.” James membenarkan pendapat Marla.
Perjalanan mereka akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang menjulang tinggi. Bangunan ini disebut-sebut sebagai yang tertinggi di Seattle. Bentuknya memang mirip dengan piring terbang yang ditopang oleh tiga kaki yang mengerucut di ujungnya. Mungkin itu lah yang membuat tempat ini disebut Space Needle.
“Kita bisa melihat seluruh Seattle dari sini?” tanya Marla, mengangkat pandangannya ke puncak bangunan tersebut.
“Tak seluruhnya. Tapi kau bisa menikmati pemandangan yang menakjubkan,” jawab James.
“Ayo kita naik.”
Marla terlihat antusias tiba-tiba. James segera membayar ongkos lift yang akan membawa mereka ke puncak. Antrean cukup panjang, tapi tak jadi soal. Marla menyukai ketertiban pengunjung di sini. Padahal ia lihat cukup banyak wisatawan asing yang berbaur dengan warga lokal.
Sesampainya di atas, suasana cukup ramai. Marla teringat Monas di Indonesia. Konsepnya hampir sama. Hanya, Space Needle menawarkan sesuatu yang lebih. Selain pelayanan yang ramah, ada restoran juga, dan yang terpenting tentu pemandangannya. Ia belum pernah melihat bentangan seperti yang ada dalam pandangannya saat ini. Kota, pantai, pesawat yang turun, perahu layar, pegunungan di kejauhan. Luar biasa.
“Kau mau berfoto James?” tanya Marla saat melihat jasa foto souvenir di puncak Space Needle ini.
“Tentu.”
“Mau pakai frame atau yang lain? Hiasan lemari es sepertinya menarik. Aku akan selalu ingat kau setiap kali ke dapur nanti.”
“Hahahaha. Kalau kau sering ke dapur, tentu kau akan ingat. Kalau tidak?”
“Aku akan tetap ke dapur.”
“Baiklah. Ayo kita buat foto yang bagus.”
James menghampiri jasa foto tersebut. Setelah memesan seperti apa yang ia dan Marla mau, mereka segera mengambil tempat. Berpose, dan… klik. Segalanya terekam dalam gambar kini.
“Aku simpan satu. Kau juga satu.” Marla mengambil hasil foto yang ada di tangan James.
“Jangan lupa, sering-seringlah ke dapur,” ledek James.
Setelah itu, keduanya pergi ke tepi. Marla memusatkan perhatiannya kembali pada bentangan luas yang ada di hadapannya. Betapa jauhnya ia dari rumah sekarang, dari keluarga, dan teman-teman dekat. Sejenak, ia ingat semua yang ada puluhan ribuan mil dari sini.
Dan tiba-tiba, ia juga ingat segala yang tertinggal di sana. Rumahnya, hiasan kaca patri yang sudah menunggu sekembalinya ia ke Indonesia, dan… hei, kenapa memikirkan hal itu? Tiba-tiba Marla ingat Ben. Meskipun Ben tidak berada di Indonesia, tapi bentangan pulau dan laut yang panjang ini selalu bermakna orang-orang yang tak ada di hadapannya saat ini.
Tidak. Marla tidak mau. Cukuplah dua hari kemarin. Mungkin, pertemuan yang tidak seperti harapan itu yang sekarang membuat Marla teringat pada sosok yang sedang terbaring di tempat tidur. Marla tak mau memikirkan hal-hal itu dulu. Ia hanya ingin membuat dirinya senang saat ini. Dan keberadaan James sejak kemarin sudah cukup membuatnya lupa sejenak akan segala hal yang selalu melekat dalam kepalanya.
“Kau baik-baik saja?” tanya James, mungkin ia melihat perubahan di wajah Marla.
“Ya. I’m okay.”
“Sungguh?”
“Hanya ingat rumah,” terang Marla. Ia membenahi anak rambutnya yang mulai keluar tak beraturan.
“Oh… Ayolah, kau kan tidak tiap hari ke sini.” James mencoba menghibur.
“Ya. Seharusnya begitu.”
James menatap ke arah laut yang luas. Marla ikut menatap ke arah yang sama.
“Saat melihat laut tadi, aku teringat rumah dan orang-orang di dekatku. Tiba-tiba saja.”
“Di seberang sana, memang rumahmu kan? Seandainya jarak itu dekat, mungkin kita bisa melihatnya sekarang.”
“Atau jika bumi ini tidak bulat. Mungkin di ujung sana kita bisa melihat rumahku walau hanya seperti titik kecil.”
James menengok ke arah Marla. Perempuan itu masih menatap ke arah laut. Garis di kejauhan sana memang terlihat melengkung.
“Justru, karena bumi itu bulat, mestinya kita bersyukur.”
“Kenapa James?”
“Karena, jika sekarang salah satu dari kita pergi dari tempat ini dan ia berjalan lurus ke depan, sementara satu yang lainnya tetap diam dan tak kemana-mana. Maka suatu saat, orang yang pergi itu akan kembali ke tempat semula. Di tempat ini.”
Tiba-tiba saja Marla merasa kehangatan saat mendengar kata-kata James barusan. Ia segera berbalik dan menoleh kepada lelaki itu. James diam terpaku, menatap laut yang sejak tadi dipandangi Marla tanpa henti.
True! And you know what, that sounds really sweet.”
James seperti baru tersadar sejenak? Betulkah yang ia ucapkan barusan? Ah, rasanya ia hanya sekadar berbicara.
“Karena bumi ini bulat, jika kita berjalanan berlawanan arah, maka kita akan bertemu lagi di sisi bumi lainnya.” Marla menambahkan. Dan James tersenyum lepas sesudahnya. Mungkin ia hanya perlu santai kan? Dan pertemuan ini terasa seperti kencan yang manis. Sepertinya.
“Besok kita akan ke Pike Place Market kan James?” tanya Marla.
“Kau akan ke sana?”
“Ya. Aku rasa aku butuh tempat yang ramai.”
“Baiklah.”
“Dan jangan katakan padaku kalau jalanan di sana juga ramai.”
James tertawa spontan. Yah, itu kalimat terbodoh yang pernah ia ucapkan di depan wanita.

* * *

(bersambung)

  • Share:

You Might Also Like

3 komentar

  1. Wahhh akhirnya di post-kan juga :)
    Tp blm apa2 Ʊϑaђ bersambung aja heheee,, can't wait next chapter •⌣•

    BalasHapus
  2. “Karena bumi ini bulat, jika kita berjalanan berlawanan arah, maka kita akan bertemu lagi di sisi bumi lainnya.”

    Aku quote yah koh :))

    BalasHapus
  3. mana terusannya k?
    saya udah nunggu2 lohh :'(

    BalasHapus