Di Balik Menunggu
By Robin Wijaya - November 19, 2012
Hampir dua bulan sudah novel MENUNGGU terbit. Penampakannya sendiri sudah bisa
ditemukan di toko-toko buku di seluruh Indonesia maupun berbagai toko buku
on-line. Seperti yang saya janjikan, dan seperti keinginan saya untuk berbagi
cerita di balik proses menulis maupun kejadian meyenangkan atau mengesalkan yang
terjadi selama penulisan novel kedua saya ini. Tapi yang pasti, proses itu
adalah bagian penting dari hasil. Proses menulis pula lah yang seringkali
membawa penulis menemukan teman baru, pengalaman, pengetahuan yang tak pernah diketahui
sebelumnya, atau mungkin lingkungan baru. Dan buat saya pribadi, setiap kali
selesai menulis novel, selalu ada kesan yang tertinggal sebagai pengalaman yang
mungkin tak terlupakan.
Jika dibanding BEFORE US yang proses menulis dan penerbitannya panjang
dan cukup melelahkan, MENUNGGU bisa dibilang ringan dan menyenangkan. Penulisan
MENUNGGU bermula dari telepon editor pada suatu sore yang menanyakan apakah
saya bisa menulis sebuah cerita drama dengan clue cinta yang mungkin sulit untuk bersatu, atau bisa jadi malah
perpisahan. Saya sempat ragu dengan tawaran tersebut, apalagi tenggat waktu
yang diberikan hanya dua minggu. Tapi, karena saya cenderung suka tantangan, jadi
saya pikir ini lah waktunya untuk mencoba dan menguji diri saya apakah bisa
menyelesaikannya. Singat kata, saya pun mengiyakan tawaran tersebut.
Begitu telepon ditutup, saya memikirkan berbagai kemungkinan ide yang
akan saya ‘jual’ ke editor nanti. Saya yang memang cenderung menyukai
cerita-cerita tragis tiba-tiba saja kehilangan semua unsur sedih (atau malah
mungkin kebanyakan, sehingga sulit untuk memilih salah satunya?). Sampai lewat
dari waktu maghrib, saya belum juga menemukan ide yang tepat. Akhirnya, saya
menghubungi teman, menanyakan koleksi DVD tontonannya (kebetulan, orangnya
memang suka film drama), sambil browsing juga untuk mencari ide dari film-film
lain.
Lewat dari dini hari, sinopsis dan plot pun selesai (oh, ya, editor
saya memang orangnya to the point, Begitu
deal, sinopsis dan plot langsung
diminta dalam waktu satu hari). Besok paginya, dengan percaya diri, saya
mengirimkan sinopsis dan plot tersebut. Selang beberapa menit kemudian, pesan
masuk ke inbox FB. Dan, hasilnya…… sinopsis dan plot saya ditolak. Glek! Plot dan ide cerita yang ditolak
itu sama dengan artinya saya harus membuat cerita baru dengan ide yang baru
pula. Saya pun minta perpanjangan waktu sampai malam.
Sorenya, setelah pulang kerja saya langsung kabur dan mengungsi ke
rumah teman untuk mengerjakan plot yang baru. Perlu waktu lebih dari tiga jam
untuk semedi di dalam kamar dan ditemani lagu-lagu sedih serta
potongan-potongan sinopsis film yang saya comot dari imdb.com. Kali ini saya
mencoba menyempitkan berbagai ide yang luas ke dalam satu kalimat; “setiap
perpisahan pasti memiliki alasan”. Ide tersebut kemudian saya kembangkan
menjadi sinopsis dan plot cerita dari awal sampai akhir. Lalu mulailah saya
memikirkan konflik dan kemungkinan logis yang menjadi penghubung antar
tokoh-tokohnya. Profesi, setting waktu dan tempat, dan alasan utama yang akan
diungkapkan sebagai penyebab perpisahan si kedua tokoh. Hingga akhirnya sebuah plot cerita berjudul Reason selesai saya garap.
Sekitar pukul tujuh malam saya mengirimkan plot tersebut ke editor, kali ini dengan
perasaan harap-harap cemas. Dan,
balasannya kembali cepat. Waduh, jangan-jangan ditolak lagi? Tapi kenyataan
malah sebaliknya, editor menyetujui plot yang ini. Dengan senang hati, saya pun
langsung bersemangat untuk mulai menulis novelnya.
Proses menulis cerita tak kalah rumitnya dengan menulis plot. Waktu 2
minggu ternyata tak cukup untuk saya menyelesaikan MENUNGGU. Mencari nara
sumber yang bisa diwawancarai soal profesinya sebagai jurnalis sampai sulitnya
janjian untuk ketemu seringkali membuat naskah saya jadi mandek. Belum lagi
setting waktu yang saya gunakan berdasar pada kejadian real, seperti contohnya
musim banjir di awal tahun 2009 dan rapat paripurna DPR yang diselenggarakan
berdekatan dengan waktu tersebut, karena kecerobohan dan penyakit lupa, kadang
membuat saya harus bolak-balik membaca naskah dan mengedit ulang di beberapa
bagian. Tapi untunglah naskah berhasil diselesaikan meski telat setor 3 hari
dari batas waktu yang ditentukan.
Dan, inilah yang menjadi pertanyaan saya selama proses menulis
MENUNGGU. Siapakah penulis yang akan diduetkan dengan saya? Mungkin agak
berbeda dengan teman-teman penulis lainnya yang berkontributor dalam proyek
Gagas Duet. Baik saya maupun pasangan duet saya tidak diberitahu akan diduetkan
dengan siapa. Kami hanya mengikuti petunjuk yang diminta oleh editor dan
mengerjakannya secara terpisah. Barulah setelah naskah ditulis saya tahu kalau
pasangan duet saya adalah Dahlian, seorang penulis senior di GagasMedia yang
sudah menerbitkan banyak buku di GagasMedia.
Ada perasaan senang yang luar biasa sekaligus nervous saat mengetahui
kalau saya akan diduetkan dengan Dahlian. Pertama, tentu penerimaan pembaca
terhadap tulisan saya. Berada dalam satu cover buku bersama penulis lain tentu
bukan hal remeh. Saya bukan cuma dihadapkan pada orang-orang yang mau membaca
tulisan saya, tapi juga pembaca dari partner menulis saya (terlebih untuk
Dahlian yang sudah punya pembaca setia). Kedua adalah gaya menulis, saya sudah
membaca lebih dari empat novel yang Dahlian tulis jauh sebelum novel pertama
saya lahir, dan tentu saya mengenal gaya menulisnya yang mengalir dan manis. Sedangkan
saya, cenderung liris dan mellow. Nah, nyambung-tidaknya naskah dan gaya
menulis kami berdua jadi bahan pikiran.
Akhirnya, setelah ‘tukeran’naskah dengan Dahlian dan saling baca, serta berlanjut ke
ngobrol-ngobrol, saya berinisiatif untuk mengganti naskah yang sudah rampung
saya tulis dengan yang baru. Saya berencana, membuat naskah dengan konflik yang
paling tidak akan berkaitan dengan naskah Dahlian atau gaya bahasa yang lebih
ringan. Tapi setelah plot disetor, editor tidak menyetujuinya. Dan, ya,
belakangan saya baru mengerti bahwa gaya menulis adalah kekuatan dari si
penulis itu sendiri untuk menonjolkan ciri khas tulisannya. Rupanya, mungkin
memang sudah dari awal direncanakan kalau gaya menulis kami yang berbeda akan
dikawinkan dalam satu buku agar memberi rasa yang berbeda dari buku-buku duet
lainnya.
Hampir 4 bulan setelah naskah saya dan Dahlian masuk redaksi. Revisi kecil
dan editing naskah untuk memperbaiki tulisan yang sudah jadi dilengkapi pula
dengan judul dan tagline yang dibuatkan oleh redaksi. Ada rasa puas dan bangga
begitu melihat wujud cover dan nama saya tercetak bersama Dahlian di sana. Dan untuk
pengemasan yang ciamik ini, tentu saya berterima kasih pada rekan-rekan
GagasMedia yang bukan cuma sudah memberi kesempatan saya terlibat dalam proyek Gagas
Duet ini, tetapi juga mendengarkan opini dan keinginan-keinginan penulis serta
menegosiasikannya bersama.
Now what?
Bukunya sudah beredar, dan sudah siap disantap oleh teman-teman semua. Kepuasan pembaca dan apresiasi akan jadi hadiah paling membahagiakan buat saya dan Dahlian. Semoga teman-teman suka dengan MENUNGGU. Dan, oh, saya habis kepo ngelihat review-review di Goodreads beberapa hari lalu. Terima kasih bagi yang sudah membaca dan mereview novelnya, terlebih yang curhat karena nangis. Hehehehe. To be honest, saya juga nyesek nulis part yang itu (ikutan curhat deh).
Well... semoga saya masih diberikan ide-ide yang bisa dituangkan ke dalam tulisan untuk teman-teman semua. Dan, setelah MENUNGGU... akan ada novel baru dari saya tahun depan. Doakan proses menulis dan penerbitannya lancar ya. Salam Galau!
1 komentar
"Gaya menulis adalah kekuatan dari si penulis itu sendiri."
BalasHapussepakat deh Mister :)