Did You Know? (a short story from Jika Hujan Pernah Bertanya)

By Robin Wijaya - Januari 18, 2012




Tahukah kamu, sebetulnya aku selalu percaya ada sesuatu yang ‘kebetulan’ di dunia ini. Termasuk pertemuan kita. Maaf, pertemuanku denganmu. Sudah lama aku diam-diam mengamatimu, melihat gerak-gerikmu, caramu bicara, caramu tertawa, caramu tersenyum pada orang lain, caramu menulis kata-kata di status facebook-mu, caramu menyapa.
Sejak saat itu, aku merasa dekat.

Tahukah kamu, setelah akhirnya waktu berbaik hati untuk mempertemukan kita, semua yang aku duga-duga pada awalnya ternyata memang seperti nyata. Kamu sebaik dugaanku, sikapmu semanis caramu tersenyum, cara bicaramu setenang wajah di avatar twitter-mu. Apa itu kebetulan juga?
Ah, aku tidak peduli. Yang aku pedulikan sekarang, hubungan kita sudah cukup dekat.

Tahukah kamu, saat akhirnya kita berteman, diam-diam aku selalu mengharapkan adanya pertemuan demi pertemuan. Aku berharap akan ada hari yang sama, waktu yang sama, kesempatan yang sama, dan orang yang sama. Yaitu, aku dan kamu. Aku selalu berharap seperti itu. Tapi, aku tidak berani mengatakannya padamu. Kalau aku bilang seperti itu. Aku khawatir… apa tanggapanmu nanti?
Aku dibilang sentimentil? Terlalu melankolis? Atau…, apa itu bahasa anak-anak sekarang yang sering muncul di twitter? Ah, ya, galau. Aku malu kalau dibilang begitu.
Padahal… bisa jadi, iya.

Tahukah kamu, kalau kemudian hari-hariku berubah. Banyak diisi senyuman, dan senyuman. Atau… rindu dan rindu. Atau… bisikan dan bisikan, untuk bilang yang sebenarnya. Begitu. Tapi, aku belum siap. Aku pikir, aku tak betul-betul seperti apa yang orang bilang. Aku pikir, perasaanku hanya perasaan biasa saja. Apakah, perempuan dan laki-laki yang dekat dan berteman tidak boleh merasakan sesuatu yang berbeda dalam hatinya? Seperti… sesuatu yang hangat? Perasaan yang nyaman? Perasaan ingin dilindungi. Atau dimiliki? Ups, aku tidak berani bilang begitu. Aku rasa, kita sudah saling memiliki, sebagai teman.

Tahukah kamu, karena kamu bilang kita berteman selamanya, maka aku pun berharap kita akan bisa bersama selamanya. Selalu seperti ini. Aku berharap, kita memang tidak akan kehilangan waktu untuk bersama. Aku berharap, kita akan saling mengenal sampai akhir usia nanti. Aku berharap, aku bisa di sampingmu selamanya saat kau butuh aku. Pun begitu sebaliknya.
Tapi… bagaimana jika kita terpisah nanti? Jika kau pergi ke kota lain? Jika aku yang pergi? Atau, kau meninggal lebih dulu? Atau, kemudian aku dilamar seorang lelaki dan memilih untuk menikah dengan orang tersebut?
Aku belum berani membayangkannya…

Tahukah kamu, setelah kita semakin dekat. Sebenarnya aku selalu ragu. Aku ragu pada perasaanku sendiri. Sejak awal aku sudah mengagumimu. Tapi aku takut, kalau ada orang lain yang lebih mengagumimu, lalu kau berpindah hati kepadanya. Aku takut kecewa.
Ini yang aku bilang ragu. Sebetulnya… aku mengagumi, menyayangimu, atau… ada perasaan yang lebih dari itu?

Tahukah kamu, beberapa hari belakangan aku sering merenung. Mungkin betul, aku telah berusaha memilikimu diam-diam. Kalau begitu, mungkin aku ini… munafik? Ah… bahasa itu terlalu kejam untukku.
Tapi, mungkin itu betul.

Tahukah kamu, setelah aku berpikir dan berpikir lagi. Akhirnya aku sadar, sikapku adalah salah. Yang aku pikirkan juga salah. Yang kubayangkan di masa depan juga salah. Jadi kupikir… lebih baik kita tidak usah berkenalan dulu. Aku cukup jadi pengagummu saja untuk saat ini. Biar aku setia oleh perasaanku sendiri. Setia untuk sesuatu yang nyata memang begitu sulit, dan kadang mengundang sesuatu yang menyakitkan.
Begitu kah, perasaan?

Jadi, aku memutuskan…
Tidak jadi menyapamu di facebook.
Tidak me-mention twitter-mu.
Menghapus nomor ponselmu, dan memutuskan untuk tidak pernah mengirim pesan singkat apapun.

Begini saja hidupku akan lebih 'aman'.
Tanpamu.
Aku mengulum senyum, memutuskan koneksi internet, mematikan komputerku, dan segera tidur.

Hidup terlalu nyata, aku mau bersamamu, dalam mimpi saja sekalipun.
Karena dalam mimpi, aku bisa menggapai apa yang aku mau.


this short story is taken from my book "Jika Hujan Pernah Bertanya" by LeutikaPrio 2011

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. kalau mau pesan buku "jika hujan pernah bertanya" apakah masih bisa???

    BalasHapus
  2. coba ke www.leutikaprio.com atau lewat fb dan twitternya leutika :)

    BalasHapus